Jika kamu percaya pada Tuhan, kamu percaya juga bahwa kesedihan dan amarahmu minggu lalu sudah di tentukan jauh sebelum air mata pertamamu jatuh.Â
Air mata pertama itu jatuh ketika kita mendengarkan lagu ONE OK ROCK "Pearce" di sudut teras rumahmu. Itu lagu yang cengeng, tapi berkali-kali lebih berkesan ketika kamu marah dengan cara marah yang aku tak pernah melihat sebelumnya.
Tangismu seperti tangis orang pendendam yang siap membunuhku kapan saja. Tumpah air matamu langsung membuat nyaliku luluh, terlalu ngerinya sehingga aku tak kuat menahan jengkel pada diri sendiri. Puisi, sebagaimana hubungan kita, adalah rangkaian keterlanjuran; Dari kesempatan dan ikatan luas yang dibangun dari lama sekali.
Seandainya kita bisa bersabar sedikit, kita tentu akan sangat menikmati ini, kubayangkan begitu. Namun tidak, kita tidaklah sekuat itu. Hubungan kita retak justru ketika segalanya tampak akan segera baik-baik saja. Kamu tahu, aku jarang menyesal. Penyesalan adalah urusan paling mudah ketika segalanya gagal.
Jerih dan upaya kita begitu samar. tapi setidaknya sekali dalam hidup kita, kita pernah saling mendoakan, saling menguatkan, dan percayalah, upaya-upaya yang kita lalui memiliki keindahannya sendiri.
Untukmu selalu ada ruang kosong untuk cerita yang tidak bisa kubagikan, tapi, kepadamu aku tak pernah sanggup sembunyi. Lewat tulisan ini, aku ingin bicara tak panjang-panjang. Cuma supaya kita sama-sama sadar, bahwa segala yang berlebihan itu memang kadang menyebalkan.Â
Sebagai kawan kita tak pernah begitu peduli pada cinta mana yang kira-kira sanggup membuat kita bertahan. Sebagai pecinta, kita untuk pertama kali merasakan kecanggungan yang susah dimengerti. Namun sebagai laki-laki dalam tulisan ini, aku ingin mengatakan rindu yang selalu ada buatmu. Rindu yang kupendam dalam dua bulan paling panjang dalam setahun ini, bulan ketika segala cemburu begitu cepat merampas keindahanmu.Â
Semoga musim hujan segera berlalu, dan sisa anginnya menerbangkan wajah kita sampai berkerut, kisut, dan tetap saling bisu. Sampai istana di mimpi-mimpi kita jadi. Sampai kita sanggup mengetawai naskah drama ini. Sampai kita terdampar di pulau tanpa berpenghuni pada suatu malam yang tak akan kita lupa. Sampai anak-anak kita berlarian mengitari kita yang sedang bertukar masa susah. Sampai kita sanggup menertawakan hal-hal kecil yang buat kita senang.Â
Apabila kamu menemukan tulisan ini dan membacanya dalam pikiranmu atau lewat satu mimpi di tidurmu menjelang subuh, kirimlah balik padaku. Kutunggu balasanmu, balasan yang apa saja. Balasan tentang di mana kamu dan siapa dirimu. Atau kamu mau jelaskan padaku kenapa kamu pergi padahal tak pernah datang? Sedang aku terus saja dipaksa membayangkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H