Usai acara, kami mengajak Kang Maman untuk makan malam bersama di warung legendaris, Tumpang Koyor dan Ronde Bu Siti. Kami berbincang hingga larut malam, mencairkan kelelahan hari dengan obrolan santai yang sesekali diselingi tawa.
Dalam suasana akrab ini, Kang Maman berseloroh dengan cukup dalam, “Penulis adalah orang yang jiwanya sakit. Semakin banyak buku yang ditulis, bukan berarti ia produktif. Kadang, itu hanya tanda bahwa penyakit mentalnya banyak, dan ia menuangkannya ke dalam tulisan.”
Saya merenung sejenak mendengar kalimat itu, dan tanpa sadar, saya mengangguk. Menulis, seperti yang dikatakan Kang Maman, memang bisa menjadi jalan pelepasan.
Banyak dari kita, mungkin termasuk saya, menjadikan menulis sebagai cara terbaik untuk mengurai pikiran, untuk melarikan diri dari realitas yang tak selalu mudah. Menulis bukan sekadar karya, tapi juga proses penyembuhan.
Di tengah kehangatan malam itu, saya merasa sangat bersyukur bisa belajar banyak dari sosok inspiratif seperti Kang Maman. Kehadirannya di Tamasya Buku Salatiga adalah berkah tersendiri bagi kami yang ingin meneguhkan langkah di dunia literasi.
Semoga, sesuai harapan Kang Maman, Komunitas Tamasya Buku dapat tetap teguh menghadapi tantangan dan kekecewaan yang mungkin muncul.
Literasi adalah perjalanan panjang yang tak selalu mudah, tetapi kami percaya bahwa dengan dukungan para pegiat literasi seperti beliau, kami bisa terus berjuang, menyebarkan semangat bermain, baca, dan berkarya.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H