Mohon tunggu...
Mahéng
Mahéng Mohon Tunggu... Penulis - Travel Writer

Lahir di Aceh, Terinspirasi untuk Menjelajahi Indonesia dan Berbagi Cerita Melalui Karya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Rayakan HUT RI ke-79, Tapi Ada yang Mati Kelaparan

17 Agustus 2024   14:18 Diperbarui: 17 Agustus 2024   14:18 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam sebuah diskusi baru-baru ini, seorang moderator bertanya kepada saya dengan penuh antusias, "Mahéng,  apa arti kemerdekaan bagi kamu?"

Saya terdiam sejenak, lalu menjawab, "Saya tak punya definisi baku tentang kemerdekaan. Bagi saya, kemerdekaan adalah kata kerja— sebuah perjalanan yang terus saya tempuh untuk memahami maknanya."

Jika kemerdekaan berarti bebas dari penjajahan dan perbudakan, faktanya, penjajahan dan perbudakan modern masih ada. Jadi, apakah kita benar-benar merdeka?

Ironisnya, hanya beberapa hari jelang perayaan kemerdekaan Republik Indonesia ke-79 pada Minggu, 11 Agustus 2024, Darwin Mangudut Simanjuntak, seorang driver ojek online di Medan, meninggal karena kelaparan. 

Ya, Kompasianer, karena lapar— tidak punya uang untuk membeli makanan. Tragisnya, saat itu ia sedang memesan makanan untuk orang lain, pelanggannya.

Kisah ini semakin menyedihkan karena uang yang ia dapatkan dari pekerjaannya, termasuk jasa memesan makanan itu, digunakan untuk merawat kakaknya yang mengalami gangguan jiwa (ODGJ). 

Mengerikan, bukan? Apakah kita benar-benar merdeka ketika seseorang meninggal karena kelaparan di tengah kota, di sebuah negara yang merayakan kemerdekaannya?

Kisah ini mengingatkan saya pada kondisi bangsa kita saat ini. Indonesia disebut sebagai negeri Gemah Ripah Loh Jinawi, kaya raya dengan sumber daya melimpah. 

Tapi kok, seperti mati di lumbung padi? Sudah 79 tahun kita merdeka, tapi masih ada yang meninggal kelaparan.

Lalu, ada yang nyeletuk, "Kalau enggak mau lapar, ya kerja keras dong?" 

Rasanya, ingin tepuk jidat mendengar komentar seperti itu.

Pernah main ke Yogyakarta? Cobalah ke Malioboro jam 5 pagi. Kamu akan melihat bagaimana buruh gendong, driver ojek, dan tukang becak bekerja keras— mereka sampai tidur di becak, melewati malam dalam dingin dan lelah. 

Kurang keras apa kerja mereka?

"Oh, itu karena mereka tidak bisa kerja cerdas!" 

Mungkin ada yang berpikir begitu. Tapi, apakah itu berarti mereka bodoh? 

Coba tanya tingkat pendidikan mereka. Jangan heran jika ada beberapa tukang becak atau ojol yang merupakan seorang magister.

"Mahéng, kok tulisan kamu di Kompasiana kali ini menggebu-gebu, tidak seperti biasanya?"

Ya, kamu benar. Baru-baru ini, saya membaca sebuah pernyataan yang membuat saya sangat jengkel: "Siapa pun presidennya tidak akan mengubah nasibmu; kalau kamu malas tetap miskin," atau "Kalau kamu mau merdeka, harus merdeka keuangan (financial freedom) dulu!"

Siapa bilang siapa pun presiden tidak akan mengubah nasibmu?

Satu tanda tangan presiden bisa menentukan harga satu piring makanan yang kamu makan, Bung, Nona! 

Bagaimana kita bisa mencapai kemerdekaan finansial kalau setiap tetes keringat kita, dipajaki?

Kemiskinan Struktural di Indonesia: Dari Warisan Sejarah hingga Kebijakan Kontemporer

Mengapa kemiskinan masih menjadi masalah besar di Indonesia? 

Kemiskinan dan kelaparan di Indonesia disebabkan oleh faktor struktural yang melibatkan krisis multidimensi, seperti ketimpangan ekonomi, monopoli, dan korupsi yang sudah mengakar.

Dalam pidato bersejarahnya pada 16 Agustus 2004, menjelang HUT RI ke-59, mantan Presiden Indonesia Abdurrahman Wahid, atau Gus Dur, menyampaikan refleksi mendalam tentang makna kemerdekaan bagi bangsa Indonesia— pesan yang tetap relevan hingga HUT RI ke-79.

Gus Dur mengingatkan kita bahwa hukum sering kali dijadikan alat politik yang mempengaruhi aspek sosial, ekonomi, dan politik bangsa. 

Contoh nyata dari apa yang disinggung Gus Dur bisa dilihat dalam kebijakan terkini, seperti Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2024 tentang Percepatan Pembangunan Ibu Kota Negara (IKN). 

Perpres ini memberikan berbagai insentif dan kemudahan, termasuk penetapan nilai tanah hingga pemberian hak guna usaha sampai 190 tahun— kebijakan yang berpotensi memperparah ketimpangan sosial dan ekonomi, serta memunculkan monopoli baru.

Menilik sejarah, Soekarno, proklamator yang namanya baru saja disebut saat Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Puan Maharani membacakan teks proklamasi di Ibu Kota Nusantara (IKN), pernah memiliki visi besar untuk menjadikan Indonesia sebagai katalisator perubahan dunia, bebas dari penjajahan.

Dalam sidang Majelis Umum PBB ke-15 pada 30 September 1960, Soekarno dengan lantang menyatakan kebenciannya terhadap imperialisme dan tekadnya untuk melawan kolonialisme di hadapan dunia internasional.

Pernyataannya mengundang tepuk tangan meriah karena ia berbicara tentang kemerdekaan yang sejati— bukan hanya dari penjajahan fisik, tetapi juga dari eksploitasi ekonomi yang efek dominonya dirasakan oleh Darwin Mangudut Simanjuntak dan mungkin juga oleh kamu.

Lalu, apa relevansi perjuangan Soekarno dengan IKN saat ini?

Jika dulu Soekarno membangun Jakarta sebagai simbol perlawanan terhadap imperialisme, kini IKN justru berpotensi menjadi sarana baru bagi kepentingan investasi asing, yang bisa mengulang pola-pola eksploitasi ekonomi yang dulu dilawan oleh bangsa ini.

Dengan situasi ini, perjuangan melawan kemiskinan dan ketimpangan di Indonesia tampaknya masih jauh dari selesai. Akan muncul 'Darwin' baru yang meninggal kelaparan di lumbung makanan [mhg].

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun