Mohon tunggu...
Mahéng
Mahéng Mohon Tunggu... Penulis - Travel Writer

Lahir di Aceh, Terinspirasi untuk Menjelajahi Indonesia dan Berbagi Cerita Melalui Karya

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Hidup Tanpa Smartphone? Mustahil? Coba Saja!

9 Agustus 2024   09:53 Diperbarui: 9 Agustus 2024   10:22 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak-anak menggunakan smartphone. Foto: Kompas.com

Pernahkah kamu merasa kewalahan oleh banjir informasi? Adegium 'terlalu banyak informasi akan membunuhmu' dari buku Filosofi Teras karya Henry Manampiring sangat relevan dengan kondisi saat ini.

Semakin banyak informasi yang kita konsumsi, terutama tanpa filter yang memadai, semakin besar risiko kita mengalami technostress dan gangguan kecemasan.

Otak kita, layaknya sebuah komputer, membutuhkan "maintenance" agar dapat berfungsi optimal.

Inilah inti masalahnya: otak kita seringkali kewalahan karena kurang digunakan. 

Tenang, jangan marah dulu! Maksud saya, kita terlalu sering mengandalkan jaringan saraf buatan (neural network) yang ada dalam ponsel pintar lebih dari otak kita sendiri.

Saya beberapa kali plesiran ke daerah terluar Indonesia yang minim, bahkan tidak ada akses atau jaringan telekomunikasi.

Saya sering mendapati teman-teman kota saya meradang, tantrum, frustrasi karena kehilangan koneksi mayantara.

Dari sini, saya menyaksikan dua dunia yang berbeda. Ada mereka yang kehilangan jiwa karena tak bisa mengakses media sosial, dan ada pula penduduk lokal yang hidup dalam harmoni dengan alam, tenang, tanpa tuntutan semu.

Masyarakat di sana, dengan insting tajam, mampu membaca ritme alam. Mereka tahu di mana ikan bersembunyi dan kapan hutan memanggil.

Sementara kita yang hidup dengan smartphone yang serba canggih itu kadang bisa mati gaya gara-gara dibuat kesasar oleh peta internet.

Jadi, kalau ada yang bilang hidup tanpa smartphone itu mustahil, saya mau ajak diskusi. Menurut saya, itu adalah generalisasi yang berlebihan.

Dulu, ponsel pintar dirancang untuk menjadi alat bantu. Kini, perannya terbalik: kita yang menjadi budaknya.

Bayangkan saja, bahkan bayi pun sudah diperkenalkan pada gawai sejak dini, hanya untuk menenangkan tangis mereka. 

Detoksifikasi Digital: Kembalikan Kendali atas Hidupmu

Mungkin kamu merasa kewalahan dengan notifikasi yang terus berdatangan dan informasi yang seolah tak ada habisnya. Jika demikian, mungkin sudah saatnya kamu mencoba digital detox.

Pernah merasa lelah setelah seharian menatap layar ponsel? 

Sama seperti tubuh kita yang butuh istirahat setelah makan makanan berat, mata dan otak kita juga butuh "istirahat" dari paparan layar.

Penggunaan gadget yang berlebihan dapat menyebabkan kelelahan mata, gangguan tidur, dan stres. Digital detox adalah solusi untuk mengatasi masalah ini.

Dengan mengurangi waktu menatap layar, kita memberikan waktu bagi tubuh dan pikiran untuk beristirahat dan memulihkan diri.

Banyak orang, terutama mereka yang bekerja di bidang digital, bertanya, "Bagaimana cara melakukan digital detox jika pekerjaan saya sangat bergantung pada gawai?"

Kita bisa membandingkannya dengan kebiasaan makan. Meskipun kita perlu makan untuk bertahan hidup, kita juga perlu menjaga pola makan yang sehat.

Begitu pula dengan penggunaan gawai. Kita perlu membatasi konsumsi konten digital agar tidak berlebihan.

Jika analogi tersebut kurang tepat, anggap saja ini seperti bertanya kepada seorang petani: apakah seorang petani harus terus memegang cangkul selama 24 jam? 

Jika demikian, bukan hanya cangkulnya yang bisa rusak, tapi tangannya juga bisa cedera!

Nah, jika ada bos yang memaksamu bekerja dengan cangkul selama 24 jam, itu tandanya sudah saatnya cari bos baru!

Menguasai Smartphone, Bukan Dikuasai Smartphone

Saya pernah berangan-angan di umur 40 tahun sudah tidak lagi menggunakan gawai sama sekali.

Mungkin terdengar "ekstrem," tapi banyak dari kita pernah punya keinginan untuk mengurangi ketergantungan pada smartphone. Namun, bagaimana caranya?

Sudah dua kali, saya memutuskan untuk melakukan eksperimen kecil—lebih tepatnya, plesiran: hidup tanpa sinyal.

Menghabiskan hampir sebulan di tempat yang jauh dari jangkauan jaringan. Awalnya, saya dan beberapa teman, termasuk influencer yang ikut dalam petualangan ini, merasa gelisah, meradang, dan bahkan tantrum.

"Bagaimana bisa hidup tanpa Instagram?" atau "Bagaimana kalau ada yang penting dari kantor?" adalah beberapa pertanyaan yang sering terlontar.

Namun, seiring berjalannya waktu, keajaiban mulai terjadi. Hari demi hari, kami semakin terbiasa dengan keheningan dan kesederhanaan. Kami berbincang, tertawa, deeptalk tanpa terdistraksi, dan menjelajah alam tanpa gangguan notifikasi.

Sungguh menakjubkan bagaimana pikiran kita menjadi lebih jernih dan kreatif ketika tidak terus-menerus terhubung dengan dunia maya.

Suasananya juga jauh lebih hangat dibandingkan di kedai kopi. Di kedai kopi, umumnya orang-orang lebih sering menunduk pada layar ponselnya daripada berinteraksi satu sama lain.

Mulai dari Hal Kecil 

Jika kamu merasa sulit untuk langsung melakukan perjalanan jauh tanpa sinyal seperti yang kami lakukan, jangan khawatir. Kamu bisa mulai dengan kebiasaan kecil.

Coba matikan ponselmu setidaknya selama 3 jam setiap hari. Pilih waktu di siang hari ketika kamu biasanya paling sering menggunakan ponsel.

Atau, coba cara yang lebih sederhana. Jauhkan ponselmu dari tempat tidur setidaknya 3 jam sebelum tidur.

Manfaatkan waktu menjelang tidur untuk membuat daftar hal-hal (to-do list) yang ingin kamu lakukan besok. Jangan lupa, sertakan kegiatan membaca di daftar itu juga!

Tunda untuk memeriksa ponsel hingga pukul 8 atau 10 pagi. Dengan begitu, kamu bisa memulai harimu dengan tenang sambil menikmati secangkir kopi dan buku favoritmu. Bisa! Latihan saja!

Konsisten adalah kuncinya. Dengan rutin melakukan hal ini, seminggu kemudian kamu akan merasakan perbedaan yang signifikan.

Tidurmu lebih berkualitas, ide-ide kreatif akan mengalir deras, fokusmu akan meningkat, dan kamu pun akan merasa lebih produktif. Siapa tahu, bosmu juga akan noticing perubahan positif dalam dirimu.

Jangan jadi pengikut buta 

Memang, tren menggunakan "dumb phone" sedang populer di Eropa. Tapi, tidak perlu terburu-buru FOMO mengikuti tren jika itu tidak sesuai dengan kebutuhanmu. Yang penting adalah menemukan cara yang paling efektif untuk mengelola penggunaan gawai sesuai dengan gaya hidupmu.

Intinya:

Menguasai gawai berarti kita yang mengendalikan gawai, bukan sebaliknya. Dengan sedikit usaha dan disiplin, kita bisa mencapai keseimbangan antara kehidupan digital dan kehidupan nyata, sehingga bisa mengatasi technostress [mhg].

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun