Indonesia pernah mencoba sistem utang pendidikan pada tahun 1980-an, namun gagal. Kini, ada rencana untuk mengulangi kegagalan tersebut.
Pendidikan di Indonesia sedang bergelut dengan berbagai masalah: Kampus yang berorientasi pada profit, biaya kuliah yang tinggi (UKT), dan rencana Student Loan yang cacat konstitusional telah mengubah pendidikan menjadi komoditas, bukan lagi alat transformasi sosial.
Akar Masalah Pendidikan di Indonesia
Salah satu akar masalah pendidikan di Indonesia adalah institusi pendidikan yang dijadikan ladang bisnis. Padahal, sejatinya pendidikan melahirkan pebisnis, alih-alih mencetak tenaga kerja murah.
Sistem pendidikan saat ini telah bergeser dari fungsinya sebagai alat transformasi sosial. Kampus tak lebih dari sebuah perusahaan yang hanya memikirkan profit.
Paulo Freire, seorang filsuf pendidikan asal Brasil, dalam bukunya Pendidikan Kaum Tertindas, menganggap sistem pendidikan kita saat ini sebagai "metode penjinakan".
Freire menyebutnya sebagai konsep pendidikan "gaya bank", di mana hubungan yang terjalin hanya melibatkan subjek sebagai penceramah (dosen, guru) dan objek yang diceramahi (murid, mahasiswa).
Lebih ironis lagi, "kurikulum" yang menjadi dasar ceramah dosen dan guru ternyata disetting oleh pemilik perusahaan (baca: kampus). Seakan-akan, pengetahuan yang diajarkan kepada mahasiswa hanyalah alat untuk melayani kepentingan pemilik modal.
Saya ingat betul pada masa awal-awal duduk di bangku kuliah, salah satu dosen favorit saya kala itu mengatakan bahwa menjadi mahasiswa harus kritis. Namun, ketika saya melihat mahasiswa yang kritis, seperti mengkritik UKT, mereka malah dibungkam dan diancam dengan berbagai cara.
Saya melihat mahasiswa yang kritis, seperti mengkritik kebijakan kampus, benar-benar dibuat "kritis" dalam artian didoxing, diancam drop out.
Belum hilang dari ingatan, pada sekitar Mei 2024 lalu, Rektor Universitas Riau melaporkan mahasiswa kampusnya ke Polda Riau sebab mengkritik biaya kuliah yang mahal.
Wacana Student Loan: Pertegas Kampus Berubah Menjadi Perusahaan?
Wacana Student Loan yang baru saja diusulkan oleh pemerintah semakin mempertegas bahwa kampus memang wadah untuk mengeruk keuntungan.
Skema ini, selain cacat konstitusional sebab bertentangan dengan mandat UUD 1945 untuk menjamin hak pendidikan warga negara, juga mengamplifikasi bahwa kampus tidak lebih dari sekadar perusahaan.
Permasalahan UKT yang melangit tetap akan muncul di masa depan selama regulasi utama yang membuat kenaikan UKT masih dipertahankan.
Kemendikbudristek seharusnya membatalkan UKT sekaligus mencabut Permendikbudristek No. 2 Tahun 2024 dan juga berkomitmen untuk mengembalikan status Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN BH) menjadi Perguruan Tinggi Negeri biasa.
Selain itu, selama UU Pendidikan Tinggi No. 12 Tahun 2012 tidak dicabut, maka semua PTN akan berstatus menjadi PTN BH. Status ini akan berimbas pada pengalihan tanggung jawab pembiayaan pendidikan, menjadi otonomi PTN.
Efek dominonya, kampus akan menaikkan UKT sesukanya untuk merawat fasilitas dan gedung-gedung yang dibangun secara awur-awuran itu. Sementara gaji dosen tetap rendah dengan beban administrasi yang tidak bisa dinalar.
Mengapa Student Loan Harus Ditolak?
Student Loan, atau kredit pendidikan, sejatinya adalah utang yang diberikan kepada mahasiswa untuk membiayai biaya kuliah dan kebutuhan terkait. Layaknya utang lain, Student Loan harus dilunasi berikut bunga dan berbagai biaya tambahan.
Masalah utama Student Loan terletak pada ketidakpastian masa depan si mahasiswa pengutang. Kampus tidak bisa menjamin bahwa mahasiswa tersebut akan mendapat pekerjaan yang sesuai untuk melunasi utang, sebab kampus sendiri adalah perusahaan.
Saya sempat berbincang dengan sahabat saya dari Malaysia, pengguna Student Loan yang masih menganggur setelah 8 bulan lulus dan terancam sanksi jika tidak membayar utangnya.
Amerika Serikat, sebagai negara yang menerapkan Student Loan sejak 1958 pun kini dibuat pusing dengan krisis utang pendidikan yang mencapai US$1,75 triliun, setara dengan Rp27.982 triliun (dengan asumsi nilai tukar Rp15.990 per US$1).
Hal ini memaksa pemerintah AS untuk "memutihkan" utang sebesar US$167 miliar (sekitar Rp2.655 triliun) bagi 4,75 juta pengutang.
Di tengah kemelut utang pendidikan di Amerika, lucunya, Indonesia justru berencana mengikuti jejak yang sama. Padahal, per Februari 2024, Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia saja sudah mencapai 407,3 miliar dolar AS.
Pertanyaannya, apakah pemerintah Indonesia sanggup menanggung beban utang Student Loan di masa depan, terutama jika banyak mahasiswa yang gagal bayar?
Menukil Harian Kompas, sistem utang pendidikan, seperti Student Loan, sebetulnya bukan barang baru di Indonesia.
Laporan khusus oleh Lembaga Penelitian Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia pada tahun 1982 menunjukkan bahwa di bawah pemerintahan Orde Baru, kebijakan serupa pernah berlaku dalam bentuk Kredit Mahasiswa Indonesia.
Kredit ini disalurkan kepada mahasiswa melalui sejumlah bank, seperti BNI 46, BRI, dan Bank Ekspor Impor Indonesia.
Namun, kebijakan itu tidak dilanjutkan sebab tingginya angka kredit macet dan manajemen yang buruk.
Pendidikan Gratis di Indonesia: Jauh Panggang dari Api
Mimpi pendidikan gratis di Indonesia masih jauh panggang dari api. Alih-alih mengalokasikan dana untuk pendidikan rakyat, pemerintah Indonesia lebih memilih menghabiskan uang untuk perjalanan dinas dan rapat yang ruwet.
Bagaimana tidak, rapat hari ini untuk membahas rapat apa besok.
Sering kita dengar banyak siswa yang tidak bisa mengenyam pendidikan dengan tenang, tidak mendapatkan ijazah, diperlakukan tidak adil di sekolah, dan bahkan terpaksa putus kuliah karena tidak mampu membayar UKT berikut tagihan sampingannya.
Anehnya, ada pihak-pihak di Kemendikbud yang malah menyatakan bahwa kuliah adalah kebutuhan tersier.
Pendidikan adalah hak setiap warga negara dan seharusnya menjadi tanggung jawab negara untuk membiayainya, bukan hanya dengan meminta pajak melalui istilah canggih-canggih seperti Tapera.
Kalau pun menagih pajak, negara ini perlu mencontoh Jerman dalam hal kebijakan pendidikan.
Negeri Panzer telah berhasil menyediakan pendidikan gratis bagi seluruh mahasiswa, baik warga negara Jerman maupun mahasiswa asing.
Meskipun Jerman menerapkan pajak yang tinggi, pemerintahnya tidak menggunakan dana tersebut untuk membeli Rubicon. Sebaliknya, dana tersebut dialokasikan untuk penelitian, yang menghasilkan kemajuan signifikan di bidang sains dan teknologi.
Kemajuan ini tidak hanya meningkatkan kualitas pendidikan di Jerman, tetapi juga memberikan kontribusi positif bagi pertumbuhan ekonomi negara itu.
Bisakah indonesia menerapkan strategi pendidikan gratis ala Jerman?
Jerman, dengan keterbatasan sumber daya alam, telah menunjukkan bahwa pendidikan gratis adalah sebuah mimpi yang bisa jadi kenyataan. Mengapa negara di mana tongkat kayu dan batu jadi tanaman ini tidak bisa?
Kuncinya adalah mengubah pola pikir kampus dari perusahaan menjadi laboratorium intelektual yang bebas dari intervensi politik. Rektor dan universitas harus fokus pada pendidikan, bukan pada nama baik kampus dengan memalsukan nilai mahasiswa untuk jualan akreditasi dan gedung baru.
Penutup: Mimpi yang Harus Diwujudkan
Mimpi pendidikan gratis di Indonesia masih jauh panggang dari api. Sistem pendidikan yang berorientasi pada profit, UKT yang tinggi, dan wacana Student Loan yang cacat konstitusional telah menghambat akses pendidikan berkualitas bagi banyak rakyat.
Sudah saatnya kita berjuang untuk mewujudkan mimpi pendidikan gratis di Indonesia!
Kita harus mendorong pemerintah untuk mengalokasikan dana yang lebih besar untuk pendidikan, mencabut kebijakan yang memberatkan mahasiswa, dan membangun sistem pendidikan yang berfokus pada transformasi sosial [mhg].
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H