Mohon tunggu...
Mahéng
Mahéng Mohon Tunggu... Penulis - Author

Redaktur di Gusdurian.net dan CMO di Tamasya Buku. Penulis feature dan jurnalisme narasi di berbagai media.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Starlink, Antara Euforia dan Refleksi Kritis terhadap Dampaknya di Indonesia

30 Mei 2024   10:18 Diperbarui: 30 Mei 2024   12:35 815
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah sering saya mencontohkan bagaimana nelayan di Runduma mampu bernavigasi di laut lepas hanya dengan melihat rasi bintang di langit, sementara kita sering kesal dan mati gaya sebab dibuat kesasar oleh Google Maps.

Sering kali kita mendengar anekdot, "Kasihan anak-anak di Baduy, tidak sekolah." Tapi, apakah benar mereka yang harus dikasihani?

Di sisi lain, banyak anak "muda modern" di Indonesia yang terancam tidak bisa sekolah, tak mampu kuliah sebab UKT yang terus melangit. 

Di saat anak-anak modern stres membayar kos dan tagihan pinjaman online, sementara anak-anak di banyak suku sedang asyik-asyiknya berburu babi untuk jadi santapan makan siang, memanjat pohon, berenang di sungai yang jernih, dan menyegarkan serta terbebas dari polusi.

Jangan dikira Starlink tidak menimbulkan polusi. Banyaknya satelit yang diluncurkan menimbulkan kekhawatiran tentang polusi cahaya di langit malam, yang dapat mengganggu pengamatan astronomi dan menimbulkan kekhawatiran di kalangan komunitas ilmiah.

Mari Hilangkan Euforia dan Berefleksi Kritis terhadap Teknologi

Kehadiran Starlink memang menjanjikan akses internet tercepat dan mudah di pelosok negeri, namun kita perlu melampaui hype sesaat dan melihat dampak jangka panjangnya secara komprehensif.

Dampak ekonomi, budaya, pendidikan, dan kesehatan harus dikaji dengan seksama, bukan hanya terjebak dalam FOMO (fear of missing out) dan menjadi ladang keuntungan bagi Elon Musk. 

Penting bagi kita untuk melangkah mundur dan melakukan refleksi kritis terhadap dampak jangka panjang teknologi ini. Jangan sampai penancapan Dishy McFlatface justru menjadi simbol penyerabutan identitas dan nilai-nilai budaya. 

Anak-anak jadi malas mengaji, melawan orang tua, tercerabut nalar kritisnya hingga rela menahan lapar bahkan mengutang demi sekotak gawai terbaru, dan guru malah tidak bisa makan dan harus menunggak iuran Tapera, eh, tagihan internet Starlink sehingga membuat mereka semakin tidak fokus mengajar.

Pemasangan Dishy McFlatface. Foto: Kompas.id
Pemasangan Dishy McFlatface. Foto: Kompas.id

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun