Sudah sering saya mencontohkan bagaimana nelayan di Runduma mampu bernavigasi di laut lepas hanya dengan melihat rasi bintang di langit, sementara kita sering kesal dan mati gaya sebab dibuat kesasar oleh Google Maps.
Sering kali kita mendengar anekdot, "Kasihan anak-anak di Baduy, tidak sekolah." Tapi, apakah benar mereka yang harus dikasihani?
Di sisi lain, banyak anak "muda modern" di Indonesia yang terancam tidak bisa sekolah, tak mampu kuliah sebab UKT yang terus melangit.Â
Di saat anak-anak modern stres membayar kos dan tagihan pinjaman online, sementara anak-anak di banyak suku sedang asyik-asyiknya berburu babi untuk jadi santapan makan siang, memanjat pohon, berenang di sungai yang jernih, dan menyegarkan serta terbebas dari polusi.
Jangan dikira Starlink tidak menimbulkan polusi. Banyaknya satelit yang diluncurkan menimbulkan kekhawatiran tentang polusi cahaya di langit malam, yang dapat mengganggu pengamatan astronomi dan menimbulkan kekhawatiran di kalangan komunitas ilmiah.
Mari Hilangkan Euforia dan Berefleksi Kritis terhadap Teknologi
Kehadiran Starlink memang menjanjikan akses internet tercepat dan mudah di pelosok negeri, namun kita perlu melampaui hype sesaat dan melihat dampak jangka panjangnya secara komprehensif.
Dampak ekonomi, budaya, pendidikan, dan kesehatan harus dikaji dengan seksama, bukan hanya terjebak dalam FOMO (fear of missing out) dan menjadi ladang keuntungan bagi Elon Musk.Â
Penting bagi kita untuk melangkah mundur dan melakukan refleksi kritis terhadap dampak jangka panjang teknologi ini. Jangan sampai penancapan Dishy McFlatface justru menjadi simbol penyerabutan identitas dan nilai-nilai budaya.Â
Anak-anak jadi malas mengaji, melawan orang tua, tercerabut nalar kritisnya hingga rela menahan lapar bahkan mengutang demi sekotak gawai terbaru, dan guru malah tidak bisa makan dan harus menunggak iuran Tapera, eh, tagihan internet Starlink sehingga membuat mereka semakin tidak fokus mengajar.