Di balik euforia Starlink, perlu dilakukan refleksi kritis terhadap potensinya dan dampaknya, khususnya bagi dunia pendidikan Indonesia.
Penting untuk memastikan bahwa Starlink bukan sekadar hype (fomo) sementara, melainkan solusi jangka panjang yang benar-benar bermanfaat bagi kemajuan pendidikan.
Kita harus waspada agar Indonesia tidak terjebak menjadi lahan eksploitasi teknologi, yang justru memperparah budaya hedonisme dan konsumerisme.
Bahwa internet bukan satu-satunya solusi untuk pendidikan yang berkualitas. Konten edukatif yang berkualitas, guru yang kompeten, dan infrastruktur yang memadai tetap menjadi faktor kunci.Â
Pertanyaannya, apakah Starlink dapat menjamin semua itu?Â
Jika kita bandingkan gaji guru honorer yang rata-rata hanya Rp300.000 per bulan dengan harga paket Starlink Rp750.000 per bulan, tampaknya lebih besar pasak daripada tiang.
Sekali Lagi, Solusi atau Fata Morgana?
Masih banyak indikator dan pertanyaan yang perlu dijawab terkait Starlink dan pendidikan, termasuk kesehatan di Indonesia.
Kita harus mencari keseimbangan serta dialog dan pemanfaatan teknologi yang bertanggung jawab, sebab banyak dari kita masih melihat Indonesia berdasarkan perspektif Jakarta. Saya sering mengamplifikasi pendapat ini di buku dan artikel saya.
Sudah jelas dan banyak buktinya, tidak semua yang kita anggap "ketinggalan zaman" seperti Baduy, dan ribuan daerah lain di Indonesia itu rungkuh.
Jangan-jangan, justru kita "manusia modern" ini yang sudah jauh tertinggal, sebab otak kita sudah bergantung sepenuhnya pada neural network.