Mohon tunggu...
Mahéng
Mahéng Mohon Tunggu... Penulis - Travel Writer

Lahir di Aceh, Terinspirasi untuk Menjelajahi Indonesia dan Berbagi Cerita Melalui Karya

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Starlink, Antara Euforia dan Refleksi Kritis terhadap Dampaknya di Indonesia

30 Mei 2024   10:18 Diperbarui: 30 Mei 2024   12:35 688
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemasangan Dishy McFlatface. Foto: Kompas.id

Di balik euforia Starlink, perlu dilakukan refleksi kritis terhadap potensinya dan dampaknya, khususnya bagi dunia pendidikan Indonesia.

Penting untuk memastikan bahwa Starlink bukan sekadar hype (fomo) sementara, melainkan solusi jangka panjang yang benar-benar bermanfaat bagi kemajuan pendidikan.

Kita harus waspada agar Indonesia tidak terjebak menjadi lahan eksploitasi teknologi, yang justru memperparah budaya hedonisme dan konsumerisme.

Bahwa internet bukan satu-satunya solusi untuk pendidikan yang berkualitas. Konten edukatif yang berkualitas, guru yang kompeten, dan infrastruktur yang memadai tetap menjadi faktor kunci. 

Pertanyaannya, apakah Starlink dapat menjamin semua itu? 

Jika kita bandingkan gaji guru honorer yang rata-rata hanya Rp300.000 per bulan dengan harga paket Starlink Rp750.000 per bulan, tampaknya lebih besar pasak daripada tiang.

Sekali Lagi, Solusi atau Fata Morgana?

Masih banyak indikator dan pertanyaan yang perlu dijawab terkait Starlink dan pendidikan, termasuk kesehatan di Indonesia.

Kita harus mencari keseimbangan serta dialog dan pemanfaatan teknologi yang bertanggung jawab, sebab banyak dari kita masih melihat Indonesia berdasarkan perspektif Jakarta. Saya sering mengamplifikasi pendapat ini di buku dan artikel saya.

Sudah jelas dan banyak buktinya, tidak semua yang kita anggap "ketinggalan zaman" seperti Baduy, dan ribuan daerah lain di Indonesia itu rungkuh.

Jangan-jangan, justru kita "manusia modern" ini yang sudah jauh tertinggal, sebab otak kita sudah bergantung sepenuhnya pada neural network.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun