BASKARA TAK LAGI menyala, mewarnai langit dengan semburat jingga yang adiwarna. Sesekali, gema lonceng Gereja Kristen Indonesia Ngupasan berbunyi nyaring, memecah keheningan sore dan menandakan pergantian waktu.Â
Sembari menunggu umat Muslim berbuka, di dalam ruang pertemuan GKI di Jl. Bhayangkara No.25, Ngampilan, berbagai komunitas dari berbagai latar belakang duduk bersama, bertukar cerita dan pengalaman dengan penuh energi.
Slamet Basuki dari Penghayat Kepercayaan Sapta Darma, misalnya, ia menceritakan pengalaman pahit komunitasnya dalam menghadapi intoleransi.
Salah satu contohnya adalah ketika salah satu istri dari anggota komunitasnya meninggal dunia, jenazahnya ditolak untuk dimakamkan di pemakaman umum, meskipun jaraknya hanya 150 meter dari rumah mereka.
"Padahal setiap ada urunan atau sumbangan, mereka tidak pernah lepas (tidak pernah tidak ikut)," ungkap Slamet dengan tangan bergetar. "Setega itu."
Tubuh Slamet bergetar hebat saat ia menceritakan kisah pilu tentang salah satu sanggar komunitasnya yang dibakar oleh kelompok intoleran. Suaranya tercekat dan air matanya berkaca-kaca, berusaha menahan rasa sedih, kecewa, tidak percaya, dan marah berkumpul, berkecamuk di dalam hatinya.
Benedicta Ike Wilawaty, utusan Gereja Katolik St. Mikael Pangkalan, menyoroti akar dari intoleransi: keimanan yang tipis dan pemahaman agama yang rendah.Â
Menurutnya, individu yang memiliki pengetahuan dan pemahaman agama yang kuat akan menjadi militan dalam keimanannya, namun tetap toleran terhadap perbedaan.
 "Kalau pengetahuan dan pemahaman agamamu kuat, maka sangat penting untuk militan ke dalam tapi toleran ke luar," tegas Ike.
Ia mencontohkan ajaran Kristen dan Katolik yang menekankan kasih kepada sesama sebagai wujud kasih kepada Tuhan. "Mengasihi ke luar adalah wujud bagaimana kita mengasihi ke dalam dan mengasihi Tuhan," terangnya.
Perbauran antarumat beragama dan kepercayaan, seperti yang dilakukan Komunitas Gusdurian Jogja dalam Cangkrukan Spesial Ramadan, sangatlah penting untuk ditiru dan diamplifikasi.Â