Sebab itu, kita perlu berusaha untuk melebarkan ruang batin kita. Kita harus belajar untuk menerima perbedaan dan melihat orang lain dengan penuh kasih sayang, tanpa terhalang oleh rasa takut dan prasangka.
Hanya dengan demikian, kita dapat membangun masyarakat Indonesia yang toleran dan harmonis.
"Selama ketakutan ada di teman-teman, diskriminasi, kekerasan akan selalu menjadi bagian kita. Karena kita mau punya benteng, ada hal yang kita lindungi," tukas Wana.Â
Selain Wana, Achmad Munjid, Dosen CRCS dan Peneliti Pusat Studi Keamanan & Perdamaian UGM, turut hadir sebagai pemantik cangkrukan.Â
Senada dengan Wana, Munjid mengungkapkan bahwa rasa takut dan ketidaknyamanan dengan identitas diri menjadi faktor yang menghambat toleransi.Â
Salah satu contohnya adalah "Salam Pancasila" yang sering digunakan sebagai simbol toleransi. Salam ini menggabungkan salam dari berbagai agama mayoritas, namun seringkali luput menyertakan salam dari aliran kepercayaan.
Salam Pancasila sering dipakai oleh anggota, pemimpin komunitas, hingga pejabat negara. Namun, jika kita renungi lebih dalam, salam Pancasila ini pun masih menunjukkan bahwa toleransi kita masih terbatas pada kelompok mayoritas.
Munjid kemudian menjelaskan bahwa demokrasi dalam masyarakat plural dapat dikatakan sehat jika kita memperlakukan minoritas dengan baik. Ini berarti menjamin hak-hak mereka, menghormati mereka, dan memperlakukan mereka secara adil.
Munjid juga menekankan bahwa toleransi bukan hanya tentang "menenggang" atau "menerima" Â minoritas asalkan mereka tidak "cari perkara". Toleransi sejati adalah tentang menerima perbedaan secara fundamental, bahkan jika itu terasa menyakitkan.Â
"Toleransi berarti menerima orang lain yang berbeda dan beragam, even with its painful," ujar Munjid. "Sebagai warga negara, kita harus menghormati perbedaan pandangan meskipun itu tidak kita sukai."