Mahkamah Konstitusi (MK) putuskan aturan ambang batas parlemen 4% inkonstitusional. Mulai Pemilu 2029, aturan diubah agar suara rakyat tak terbuang sia-sia.
Bersandarkan catatan MK, selama tiga pemilu terakhir, total 35,61 juta suara rakyat terbuang sia-sia karena sistem ambang batas parlemen. Fakta ini sungguh miris dan menunjukkan bahwa demokrasi kita perlu dievaluasi.
Terlepas dari motivasi dan pihak di balik Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) sebagai penggugat terhadap ambang batas parlemen, parliamentary threshold memang sudah saatnya ditinjau ulang.
Pada Pemilu 2009, sebanyak 19,05 juta suara (18%) tidak dapat dikonversi menjadi kursi DPR. Kemudian, di Pemilu 2014, 2,96 juta suara (2,4%) kembali terbuang.Â
Suara rakyat terbuang sia-sia juga sangat signifikan pada Pemilu 2019, di mana 13,6 juta suara (9,7%) hilang tanpa arti.
Ambang batas parlemen merupakan syarat minimal perolehan suara partai politik untuk mendapatkan kursi di DPR, yang diatur dalam Putusan MK Nomor 48/PUU-XVIII/2020 yang berimplikasi pada penyederhanakan sistem kepartaian untuk stabilitas politik, peningkatan kinerja parlemen dengan mendorong akuntabilitas anggota fraksi, peningkatan kualitas partai politik, dan menghasilkan anggota parlemen yang berintegritas dan kompeten.
Apakah implikasi itu benar-benar terwujud? Saya tidak yakin.Â
Implementasi parliamentary threshold selain mengeliminasi suara rakyat yang tidak mencapai ambang batas, membatasi pilihan rakyat dalam memilih partai politik, dan yang paling kentara adalah memperkuat oligarki dengan menguntungkan partai besar dan mapan.
Pada Minggu, 3 Maret 2024, Gusdurian Jogja menyelenggarakan Forum Demokrasi bertajuk Membaca Perlawanan Gus Dur terhadap Orde Baru: Masih Adakah Otoritarianisme dalam Rezim Demokrasi?
Diskusi ini dimoderatori oleh Kamalatan Nihaya dan menghadirkan Savic Ali, Senior Advisor Jaringan Gusdurian, sebagai pemantik.Â
Savic membuka diskusi dengan menengok kembali era Orde Baru di mana hanya tiga partai yang diizinkan mengikuti Pemilu: Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI).Â
Dari sembilan partai besar di Indonesia, plus organisasi di bawah naungan Golkar, Soeharto meringkasnya menjadi tiga saja.
Savic kemudian mempertanyakan perbedaan antara situasi tersebut dengan masa kini. "Apa kira-kira bedanya dengan dulu partainya cuma tiga (dengan) sekarang partainya banyak tapi syaratnya juga macam-macam dan ada threshold? Di sisi mana dulu enggak disebut demokratis dan sekarang disebut demokratis?" Â
Demokrasi pada dasarnya adalah tentang kedaulatan rakyat, di mana rakyat memiliki hak untuk menentukan pemimpin dan arah bangsa. Namun, adanya parliamentary threshold dapat memicu kekhawatiran bahwa kedaulatan rakyat tergantikan oleh kedaulatan oligarki dan partai politik underbow-nya.
Hal ini terjadi karena suara rakyat yang tidak mencapai ambang batas parlemen menjadi "terbuang sia-sia" dan tidak terwakili di parlemen. Partai-partai kecil dengan basis massa tertentu terhalang untuk masuk ke parlemen dan memperjuangkan aspirasi rakyat.Â
Ditambah lagi, partai-partai besar dan mapan memiliki keuntungan karena memiliki akses yang lebih besar terhadap sumber daya dan media.
Akibatnya, keberagaman suara rakyat tidak tersampaikan dengan baik, dan kebijakan yang dihasilkan tidak selalu mencerminkan kebutuhan rakyat secara komprehensif.Â
Lantas, di mana letak demokrasinya?
Adanya ambang batas parlemen dikhawatirkan dapat menjadi bentuk laten dari tirani mayoritas. Hal ini juga diungkapkan oleh Savic dalam Forum Demokrasi, di mana ia menekankan bahwa demokrasi harus tunduk pada rule of law untuk menghindari tirani mayoritas.
Savic juga memberikan contoh bagaimana era Orde Baru membatasi hak rakyat, seperti aturan yang melarang orang Tionghoa membuka toko di wilayah desa dan tingkat kecamatan.Â
Aturan ini merupakan contoh nyata bagaimana kekuatan mayoritas dapat digunakan untuk menindas kelompok minoritas. Sehingga menjadi alasan kuat lainnya bahwa ambang batas parlemen 4 persen suara sah nasional harus dihapuskan.
Kendati parliamentary threshold benar-benar dihilangkan, syukur-syukur presidential threshold bisa menyusul, itu bukan tujuan akhir.Â
Dalam forum demokrasi yang dihadiri oleh berbagai lapisan masyarakat, lintas iman, Savic Ali menekankan bahwa demokrasi bukanlah sebuah pencapaian akhir, melainkan sebuah proses yang berkelanjutan.
Demokrasi membutuhkan perjuangan dan partisipasi aktif dari semua pihak, termasuk rakyat, pemerintah, dan pers.Â
Pers memainkan peran penting sebagai pilar keempat demokrasi. Pers memiliki hak dan tanggung jawab untuk mengontrol pemerintah, memastikan transparansi dan akuntabilitas, serta menyuarakan aspirasi rakyat.Â
Savic Ali juga menekankan pentingnya konsolidasi dan berjejaring sebagai kunci untuk memperkuat demokrasi di Indonesia. Gus Dur, menurutnya, adalah contoh figur yang melakukan hal ini dengan sangat baik.Â
Gus Dur mampu menghitung secara politik, termasuk dalam menentukan siapa yang bisa diajak berkolaborasi dalam gerakannya. Dengan bersatu dan bekerja sama, berbagai pihak dapat memperkuat suara mereka dan memperjuangkan demokrasi yang lebih baik.Â
"Gus Dur mampu membedakan antara Soeharto sebagai pribadi dan Soeharto sebagai presiden."
Last but not least, Forum Demokrasi ini menegaskan bahwa demokrasi di Indonesia masih memiliki banyak tantangan. Adanya ambang batas parlemen, oligarki, dan lemahnya partisipasi rakyat menjadi beberapa contohnya.
Penting untuk terus memperjuangkan demokrasi dengan berbagai cara, seperti meningkatkan kesadaran dan partisipasi rakyat, mendorong reformasi partai politik, dan memperkuat sistem pendidikan politik, contohnya melalui Forum Demokrasi yang digagas Gusdurian Jogja ini sendiri [mhg].
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI