Pernahkah kamu dihadapkan pada situasi rumit seperti ini?
Sibiran tulangmu diajak ta'aruf oleh pria kaya dan ternama di tempatnya bekerja, sementara kamu masih berjuang dengan kondisi ekonomi yang belum stabil.
Dilema yang membuatmu bimbang dan gamang bahkan semaput.
Baru-baru ini, saya mengalami situasi seperti itu. Kebetulan, lelaki yang bersangkutan memiliki reputasi yang cukup beken di tempat tersebut, sehingga kondisi ekonominya dapat ditabal.
Mendengar kabar itu, seakan saya tidak dapat menggerakkan tukai, kepala bergelagak, muka kuyu, badan jadi limbung.
Dasarnya, saya tidak ingin menunda-nunda pernikahan. Saya ingin menikah sekali saja dalam hidup saya, menjadikan pernikahan tersebut langgeng dan bahagia, tidak semata-mata untuk pemenuhan hasrat seksual.Â
Di Indonesia, pertanyaan "kapan nikah?" seakan menjadi dedemit yang selalu menghantui (terutama) perempuan seperti pacar saya, terlebih ketika memasuki usia 20-an.Â
Pertanyaan ini sering muncul dari keluarga, tetangga, bahkan orang asing, seolah-olah pernikahan adalah satu-satunya penentu kebungahan perempuan. Â
Tekanan ini semakin terasa pada perempuan yang masih belum menikah di usia yang dianggap "matang". Label "perawan tua" sering kali disematkan, seolah-olah mereka memiliki kekurangan atau tidak laku.Â
Hal ini tentu saja dapat menimbulkan beban mental dan tekanan sosial bagi perempuan, termasuk apa yang dirasakan oleh kekasih saya.
Tak pelak, meskipun menunda pernikahan (waithood) adalah pilihan hidup yang semakin galib di era modern. Namun, pilihan ini seringkali memiliki konsekuensi yang berbeda bagi pria dan wanita, terutama terkait dengan persepsi sosial dan biologis mengenai usia dan penampilan seperti yang sudah saya singgung di atas.