Ironisnya, lanjut Sabiq, di tengah perjuangan desa untuk otonomi dan pengakuan hak, terdapat oknum anggota legislatif yang justru memanfaatkan situasi ini untuk keuntungan pribadi.Â
Mereka menganggap diri berjasa karena membantu desa mendapatkan kuota bantuan keuangan dari kabupaten maupun provinsi. Bantuan yang seharusnya menjadi hak masyarakat ini diubah menjadi alat untuk menjebak warga dalam hutang budi.
Ketika pemilihan legislatif (Pileg) tiba, jasa ini diungkit untuk memaksa warga memilih mereka kembali. Transaksi politik pun terjadi, di mana oknum anggota legislatif bekerja sama dengan broker proyek untuk menjual kuota bantuan kepada desa.
Sistem beli kuota bantuan ini berlawanan dengan amanat UU Desa yang mewajibkan pengerjaan proyek desa dilakukan secara swakelola dan memberdayakan warga desa.Â
Alih-alih membangun desa, sistem ini justru memperkuat eksploitasi politik dan melemahkan partisipasi masyarakat [mhg].Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H