Wahyudi melanjutkan bahwa terdapat banyak tumpang tindih antara Undang-Undang Desa dengan irisan 21 Undang-Undang lainnya.Â
Oleh karena itu, dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Perkumpulan Aparatur Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (PAPDESI), pihaknya mengusulkan revisi Undang-Undang Desa untuk menata ulang agar setala dengan 21 Undang-Undang tersebut.
"Mirip-mirip omnibus law," jelas Wahyudi.
Wahyudi mencontohkan, banyak pasal dalam Undang-Undang Desa yang tumpang tindih dengan irisan 21 Undang-Undang lainnya, seperti Undang-Undang tentang Fakir Miskin dan Penetapan Status Hutan Lindung yang dulunya hutan ulayat.
Pada kesempatan yang sama, saya juga berdiskusi dengan Sabiq Muhammad, Kepala Desa Prawatan, Kecamatan Jogonalan, Klaten.
Senada dengan Wahyudi, Kades Termuda Klaten yang rela batalkan beasiswa S2 ke China demi membangun Desa Prawatan ini memaparkan bahwa fokus revisi Undang-Undang Desa tidak terletak pada perpanjangan masa jabatan kepala desa.Â
Ia menekankan pentingnya mengembalikan dan mengakui hak kepala desa dan hak adat.
Sabiq mengkritik program pemerintah yang selama ini bersifat top-down, sehingga kepala desa hanya berperan sebagai pelaksana, bukan pengkonsep. Hal ini menyebabkan minimnya otonomi desa dalam membangun wilayahnya.
Padahal, menurut Sabiq, kepala desalah yang lebih memahami konteks dan kondisi di lapangan.Â
"Desa selalu menjadi korban program pemerintah pusat. Sehingga, kepala desa selalu disandera, dituntut oleh masyarakat setempat, dan didesak oleh pemerintah pusat," ujarnya.