Komunitas literasi bernama Kolaborasi Buku atau Kolbu resmi diluncurkan di Yogyakarta pada 12 Januari 2024 lalu. Komunitas ini akan menjadi rumah bagi penulis, pembaca, penerbit, dan toko buku.
Kolaborasi Buku diinisiasi oleh penerbit Afkaruna dan toko buku Gudang Ilmu Jogja serta Mabook Outlet. Meski begitu, komunitas ini terbuka untuk siapa saja yang mencintai dunia literasi. Sesuai dengan tagline yang disepakati bersama, "Kolaborasi Bukan Kompetisi."
Dalam debutnya, Kolaborasi Buku menghadirkan novelis Muyassarotul Hafidzoh untuk membedah novel terbarunya, Hanna & Syauqi, yang diterbitkan oleh Penerbit Diva Press.
Pada diskusi yang saya moderatori, saya langsung membuka dengan pertanyaan menantang, "Menurut Ning Muyas, Cinta itu apa?" Ning Muyas - begitu panggilan saya untuk Muyassarotul Hafidzoh - menjawab, "Cinta adalah segala sesuatu yang membuat kita bahagia."
Oleh karena itu, belum ada definisi yang dikonsensusi tentang apa itu cinta. Cinta hanya bisa dirasakan, dan cinta bisa muncul secara tidak masuk akal; namun, cinta dapat memunculkan kebahagiaan bagi yang merasakannya.
Perlu diingat bahwa kebahagiaan berbeda dengan kesenangan.
Banyak dari kita rela menghabiskan waktu berjam-jam untuk berselancar di media sosial karena merasa "bahagia" setelah melihat TikTok atau Reels. Dengan kata lain, kita sudah terlanjur "cinta" dengan media sosial tersebut.
Tapi tunggu dulu, apa benar menyecroll TikTok akan menimbulkan kebahagiaan atau kesenangan semata? Tulis pendapatmu di kolom komentar artikel ini, ya!
Menurut Muyassarotul Hafidzoh, jatuh cinta tidak harus kepada seseorang, tetapi juga kepada buku, menulis, serta diskusi.
Jawaban Ning Muyas sejalan dengan celetukan yang muncul setelah forum selesai. "Membangun Kolbu itu mudah, tapi menjaga komitmennya yang sulit."
Cinta pada literasi adalah kunci untuk menjaga komitmen komunitas Kolaborasi Buku tetap berlanjut: Cinta pada buku, cinta pada diskusi, dan cinta pada menulis.
Dalam kesempatan itu, Muyassaroh menambahkan bahwa modal untuk menulis adalah dua, yaitu jatuh cinta dan patah hati. Jatuh cintanya tidak harus kepada orang, tetapi juga kepada sesuatu, seperti pekerjaan. "Menulis itu (pekerjaan yang membuat) kita merasakan kebahagiaan," katanya.
Begitu juga dengan patah hati, kecewa, sedih, atau marah. "Kita melihat sesuatu, peristiwa, isu, atau apa pun yang membuat kita sedih, membuat kita marah, membuat kita kecewa. Itu bisa menjadi modal kita untuk menulis," lanjut Muyassaroh.
Muyassaroh meneruskan bahwa ia secara pribadi menulis novel-novelnya dari jatuh cinta dengan dunia pendidikan dan perempuan, serta patah hati saat melihat banyak kejadian-kejadian yang mendiskriminasi perempuan.
"Dari modal dua itu kemudian lahirlah karya-karya saya," tambahnya.
Jatuh cinta dapat menjadi sumber inspirasi untuk menulis karena dapat memunculkan emosi yang kuat, seperti kebahagiaan, semangat, dan optimisme. Patah hati juga dapat menjadi sumber inspirasi karena dapat memunculkan emosi yang kuat, seperti kesedihan, kemarahan, dan kekecewaan.
Selain itu, karya-karya Muyassaroh juga terinspirasi dari isu-isu sosial yang ia rasakan penting untuk diangkat setelah menghadiri Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) pertama di Cirebon yang mengangkat tiga isu utama, yaitu kekerasan seksual, pernikahan anak, dan lingkungan.
Misalnya, dalam novel Hanna & Syauqi, Hanna digambarkan sebagai sosok yang sangat peduli dengan lingkungan. Ia memiliki kegiatan pengelolaan sampah yang sudah cukup baik.
Muyassaroh mengatakan bahwa ia ingin ikut serta dalam gerakan untuk mengatasi isu-isu tersebut. Ia merasa bahwa menulis adalah salah satu cara yang bisa ia lakukan untuk berkontribusi.
“Saya ingin ikut serta bersama ulama-ulama perempuan lainnya yang sudah bergerak lebih dulu dalam mengatasi isu perempuan, sampah, lingkungan, dan menghentikan pernikahan anak. Apa yang bisa saya lakukan, yang terlintas dalam pikiran saya adalah menulis,” papar Muyassaroh.
Karena itu, secara umum ketiga novel Muyassaroh yang sudah terbit, yaitu Hilda, Cinta dalam Mimpi, dan Hanna & Syauqi, mengangkat isu-isu yang berkaitan dengan pengalaman perempuan.
Saya tidak akan memberikan banyak spoiler tentang ketiga novel ini. Kamu bisa membacanya sendiri karena isu yang diangkat sangat relevan dengan pengalaman perempuan, termasuk stigma terhadap perempuan yang tidak bisa hamil, penindasan sesama perempuan, dan sebagainya.
Saya ingin menutup tulisan ini dengan kembali menekankan pentingnya cinta. Cinta pada menulis, cinta pada diskusi, dan cinta pada buku adalah kunci komunitas Kolaborasi Buku untuk tetap berkomitmen pada agendanya yang berkelanjutan.
Mari bersama-sama menjadikan komunitas Kolaborasi Buku sebagai rumah bagi para pecinta literasi. Mari berkolaborasi untuk menghasilkan karya-karya yang berkualitas dan bermanfaat.
Nantikan diskusi buku selanjutnya di Kolaborasi Buku [mhg].
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H