Mohon tunggu...
Mahéng
Mahéng Mohon Tunggu... Penulis - Author

Redaktur di Gusdurian.net dan CMO di Tamasya Buku. Penulis feature dan jurnalisme narasi di berbagai media.

Selanjutnya

Tutup

Joglosemar Pilihan

Komunitas Kolaborasi Buku, Rumah Baru Pecinta Literasi di Yogyakarta

14 Januari 2024   20:03 Diperbarui: 14 Januari 2024   20:15 797
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Muyassarotul Hafidzoh menceritakan latar belakang penulisan novel-novel karyanya. Foto: Ahmad Zaki Fadlur Rohman.

Dalam kesempatan itu, Muyassaroh menambahkan bahwa modal untuk menulis adalah dua, yaitu jatuh cinta dan patah hati. Jatuh cintanya tidak harus kepada orang, tetapi juga kepada sesuatu, seperti pekerjaan. "Menulis itu (pekerjaan yang membuat) kita merasakan kebahagiaan," katanya.

Begitu juga dengan patah hati, kecewa, sedih, atau marah. "Kita melihat sesuatu, peristiwa, isu, atau apa pun yang membuat kita sedih, membuat kita marah, membuat kita kecewa. Itu bisa menjadi modal kita untuk menulis," lanjut Muyassaroh. 

Muyassaroh meneruskan bahwa ia secara pribadi menulis novel-novelnya dari jatuh cinta dengan dunia pendidikan dan perempuan, serta patah hati saat melihat banyak kejadian-kejadian yang mendiskriminasi perempuan. 

"Dari modal dua itu kemudian lahirlah karya-karya saya," tambahnya.

Jatuh cinta dapat menjadi sumber inspirasi untuk menulis karena dapat memunculkan emosi yang kuat, seperti kebahagiaan, semangat, dan optimisme. Patah hati juga dapat menjadi sumber inspirasi karena dapat memunculkan emosi yang kuat, seperti kesedihan, kemarahan, dan kekecewaan.

Sesi tanya jawab dalam bedah novel
Sesi tanya jawab dalam bedah novel "Hanna & Syaqi". Foto: Ahmad Zaki Fadlur Rohman.

Selain itu, karya-karya Muyassaroh juga terinspirasi dari isu-isu sosial yang ia rasakan penting untuk diangkat setelah menghadiri Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) pertama di Cirebon yang mengangkat tiga isu utama, yaitu kekerasan seksual, pernikahan anak, dan lingkungan.

Misalnya, dalam novel Hanna & Syauqi, Hanna digambarkan sebagai sosok yang sangat peduli dengan lingkungan. Ia memiliki kegiatan pengelolaan sampah yang sudah cukup baik.

Muyassaroh mengatakan bahwa ia ingin ikut serta dalam gerakan untuk mengatasi isu-isu tersebut. Ia merasa bahwa menulis adalah salah satu cara yang bisa ia lakukan untuk berkontribusi. 

“Saya ingin ikut serta bersama ulama-ulama perempuan lainnya yang sudah bergerak lebih dulu dalam mengatasi isu perempuan, sampah, lingkungan, dan menghentikan pernikahan anak. Apa yang bisa saya lakukan, yang terlintas dalam pikiran saya adalah menulis,” papar Muyassaroh. 

Karena itu, secara umum ketiga novel Muyassaroh yang sudah terbit, yaitu Hilda, Cinta dalam Mimpi, dan Hanna & Syauqi, mengangkat isu-isu yang berkaitan dengan pengalaman perempuan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Joglosemar Selengkapnya
Lihat Joglosemar Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun