Mohon tunggu...
Mahéng
Mahéng Mohon Tunggu... Penulis - Travel Writer

Lahir di Aceh, Terinspirasi untuk Menjelajahi Indonesia dan Berbagi Cerita Melalui Karya

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Runduma Surga Kecil di Wakatobi: Buku yang Mengajak Kita Merenungi Pembangunan Masyarakat

7 Januari 2024   12:19 Diperbarui: 1 Februari 2024   09:53 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Malam peluncuran buku Runduma Surga Kecil di Wakatobi. Foto: Nurrahmawati

Jika kamu sedang mencari tempat untuk melupakan segala penat dan hiruk pikuk kota, maka Pulau Runduma di Wakatobi adalah jawabannya.

Pulau kecil yang terletak tidak jauh dari kawasan Taman Nasional Wakatobi ini menawarkan keindahan alam yang luar biasa, mulai dari pantai berpasir putih, air laut yang jernih, hingga terumbu karang yang masih asri.

Jelang akhir tahun 2023, saya berkesempatan untuk mengikuti Village Development Expedition (VDE) edisi ketiga yang diinisiasi oleh Barakati Indonesia. VDE adalah program pemberdayaan masyarakat yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat di desa-desa terpencil di Indonesia.

Pada edisi ketiga ini, VDE berlokasi di Pulau Runduma. Sebagai bagian dari program VDE, saya dan belasan delegasi lainnya berkesempatan untuk tinggal dan mengabdi di desa Runduma selama delapan hari, satu hari di antaranya kami habiskan di Pulau Anano. 

Selama di sana, saya banyak belajar tentang kehidupan masyarakat di pulau terpencil ini.

Ekspedisi ke Pulau Runduma telah mengubah perspektif saya - mungkin juga dirasakan oleh delegasi lain - secara fundamental tentang makna pendidikan dan pembangunan.


Selama ini, pendidikan dan pembangunan selalu dilihat dari sudut pandang Jakartasentris  dengan gedung (dan kriminalitas) tinggi. Pendidikan, sebagai contoh, kurikulumnya malah membawa peserta didik menjauh dari lingkungannya sendiri, mengabaikan kearifan tradisi yang telah dibangun secara turun temurun. Tak pelak, banyak anak nelayan yang enggan melaut.

Karena itu, saya setuju jika ada yang mengatakan, "pendidikan akan dianggap gagal ketika anak petani sudah tidak mau bertani dan anak nelayan berhenti melaut."

Mungkin ada di antara kalian yang akan protes, "Emangnya anak petani enggak boleh jadi presiden?" Boleh kok, anak petani berhak menjadi siapa pun bahkan menjadi dirinya sendiri. Poin saya tidak di sana.

Pertanyaan itu juga bisa muncul karena masih ada paradigma bahwa baik nelayan maupun petani adalah pekerjaan rendahan.


Pengalaman saya selama mengabdi di Pulau Runduma telah saya tuangkan dalam buku yang berjudul Runduma Surga Kecil di Wakatobi. Buku ini berisi point of view saya tentang pendidikan dan pembangunan yang layak diterapkan di daerah terpencil seperti Pulau Runduma.

Saya menyadari bahwa penilaian kita terhadap Indonesia sering kali bias, terutama terhadap masyarakat pedesaan. Apalagi kalau ada stigma bahwa masyarakat pedesaan dianggap "tidak modern" dan "tertinggal". Modern menurut definisi siapa dulu?

Fokus pendidikan seharusnya pada pemberdayaan masyarakat pedesaan, bukan memaksa mereka pindah ke kota untuk mencari penghidupan, mencari kerja agar tetap hidup, padahal di daerahnya sendiri kekayaan alam begitu melimpah.

Melalui buku ini, saya ingin mengajak kita merenungi pembangunan masyarakat dari perspektif yang lebih luas, tidak hanya dari segi fisik, tetapi juga dari segi "metafisik", sosial, dan budaya. Pembangunan seharusnya menciptakan kesempatan setara bagi semua orang dan memberdayakan, bukan memperdaya masyarakat.

Buku Runduma Surga Kecil di Wakatobi. Foto: Nurrahmawati
Buku Runduma Surga Kecil di Wakatobi. Foto: Nurrahmawati

Salah satu tantangan terbesar dalam menulis buku ini adalah saat mentranskrip wawancara dengan tokoh-tokoh di Runduma. Hal ini disebabkan oleh perbedaan bahasa dan budaya seperti penggunaan dialek lokal dan istilah lokal yang sebelumnya belum saya pahami. 

Akibatnya, saya harus mendengarkan rekaman berulang kali sambil mengecek beberapa literatur untuk memahami kondisi dan konteksnya. Rekaman satu jam bisa saya habiskan sehari hingga dua hingga berhari-hari.

Tetapi saya tidak patah arang. Banyak cerita di desa ini, yang saat ini menjadi tradisi lisan turun-temurun, belum terdokumentasikan sebagai bagian dari khazanah sejarah. Tanpa pendokumentasian, cerita-cerita ini berisiko hilang dari Runduma.

Dan bagi saya, selayaknya, para guru di sanalah yang harus mengambil peran ini. Merekam, menciptakan literasi versi mereka sendiri. Akan tetapi, saya tidak boleh egois. Menjadi guru di Runduma, tidak semudah merangkai kata-kata.

Awalnya, saya berencana menulis buku ini dengan pendekatan akademis. Saya ingin memasukkan teori-teori yang umum diajarkan di kampus, sehingga buku ini dapat dikategorikan sebagai buku ilmiah dan bisa ditempatkan di rak-rak perpustakaan universitas. 

Saya bahkan rela bolak-balik ke perpustakaan tertentu dan membayar biaya masuk, karena saya bukan mahasiswa yang membayar uang kuliah.

Namun, saya kemudian mengubah rencana saya. Saya memutuskan untuk menulis buku ini apa adanya, tanpa pretensi untuk menjadi buku ilmiah. Meskipun saya tetap memasukkan beberapa bagian kecil kutipan teori, tujuan saya adalah agar buku ini dapat dinikmati oleh semua orang, bahkan oleh mereka yang tidak pernah membaca buku sekalipun.

Buku Runduma Surga Kecil di Wakatobi adalah bacaan yang inspiratif bagi siapa saja yang peduli dengan pendidikan dan pembangunan di Indonesia. Tertarik untuk membacanya?  [mhg]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun