Mohon tunggu...
Mahéng
Mahéng Mohon Tunggu... Penulis - Author

Redaktur di Gusdurian.net dan CMO di Tamasya Buku. Penulis feature dan jurnalisme narasi di berbagai media.

Selanjutnya

Tutup

Book Artikel Utama

"Burmese Days", Novel George Orwell yang Masih Relevan hingga Saat Ini

21 September 2023   23:29 Diperbarui: 24 September 2023   12:16 1262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu kehebatan George Orwell adalah ia lihai dalam merekam pengalaman sehari-hari menjadi sebuah karya tulis yang renyah. Dia memiliki bakat untuk menulis pengalaman umum yang orang lain juga rasakan ke dalam sastra sehingga ketika membacanya dalam hati bergumam, 'oh, ya, ya'.

Contoh karya tersebut adalah novel perdananya, Burmese Days. Novel ini diangkat dari pengalaman pribadi Eric Arthur Blair, nama asli Orwell. 

Sehingga, ini dapat dikategorikan sebagai novel semi-otobiografi Orwell ketika menjadi polisi di Burma (sekarang Myanmar), sebagai seorang perwira polisi di Burma dari tahun 1922 hingga 1927. Orwell menggunakan latar fiksi Kyauktada, sebuah kota kecil di Burma Hulu.

Novel ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh beberapa penerbit. Seperti yang diterjemahkan oleh Gramedia dengan anak  judul Hidup-Mati di Burma, misalnya.

Novel ini unik karena Orwell menggunakan sudut pandang penjajah sebagai narator utama, ini mungkin berbeda dengan mayoritas novel sejarah lainnya.

Novel Burmese Days terdiri dari dua puluh lima bab, dimulai dengan isu pada sebuah Klub Eropa di Burma. Pada tahun 1920-an, muncul imbauan dari Inggris Raya melalui Mr. Macgregor (Deputi Komisioner dan Sekretaris Klub) bahwa klub-klub yang ada di negara jajahan harus mengandung keterwakilan penduduk lokal. Klub Eropa Kyauktada adalah satu-satunya klub yang belum berisi anggota dari penduduk Oriental.

Istilah "oriental" (orang timur) digunakan untuk menggambarkan penduduk asli dalam novel ini, sebuah istilah umum untuk menyebut orang-orang keturunan Asia, penduduk asli, lokal. Di Indonesia, penduduk asli lebih dikenal dengan sebutan "Pribumi," atau "bumi putera."

Novel ini dinaratori dari sudut pandang John Flory, seorang pedagang kayu, juga seorang anggota Klub Eropa tersebut. Orwell menggunakan karakter Flory untuk mengeksplorasi beberapa tema besar seperti imperialisme, rasisme, dan gegar budaya.

Tapi saya tidak akan memberikan terlalu banyak bocoran, spoiler, silakan baca dan beli sendiri novelnya. Saya hanya akan mengangkat, memberikan clues tentang isu-isu menarik yang disuarakan oleh Orwell dalam novel ini.

Satu tokoh, U Pyo Kin, sangat menonjol. Dia adalah tokoh yang digambarkan bermuka dua, munafik, menyuap, dan bekerja sebagai kepala distrik. Dia memanfaatkan posisinya untuk mengisi kantongnya sendiri dengan menganiaya rakyat Kyauktada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun