Setelah membaca artikel yang ditulis oleh Mbak Martha Weda berjudul Rambut, Kaus Kaki, sampai Kaus Dalam Jadi Masalah di Sekolah, tak bisa tidak, ingatan saya langsung terlempar ke pengalaman pribadi.
Saya masih menyimpan "rasa kecewa" ketika dahulu rambut saya dipotong tak karuan oleh bapak guru, dengan alasan kerapian.
Sedari dulu, saya selalu bertanya-tanya, apa korelasi antara rambut pendek dan kerapihannya? Apa relevansinya antara rambut pendek dengan keberhasilan dalam proses pendidikan?
Jawaban awal mungkin telah saya temukan, ketika pasangan saya, yang juga seorang guru, baru-baru ini meminta saya sambil menangis ingin rambut saya "dirapikan".
Ia berpendapat bahwa rambut gondrong identik dengan penjahat berandalan yang tidak mengindahkan aturan, urak-urakan dan onverschillig. Namun, paradoksnya, banyak koruptor dan penjahat terkenal memiliki rambut yang justru terlihat sangat "rapi."
Paradigma bahwa rambut gondrong identik dengan penjahat dan ketidakpatuhan tidak hanya terjadi di lingkungan sekolah, tetapi juga di masyarakat.
Jika kita merunut, paradigma ini tidak muncul begitu saja, ada buku yang bisa Kompasianer baca agar mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif. Judul bukunya Dilarang Gondrong! Praktik Kekuasaan Orde Baru Terhadap Anak Muda 1970an ditulis oleh Aria Wiratma Yudhistira.
Pada masa Orde Baru terdapat badan khusus untuk mengurusi rambut gondrong, yaitu Badan Koordinasi Pemberantasan Rambut Gondrong (Bakorperagon).
Pencitraan gondrong pada masa Orde baru juga tak lepas dari bantuan media massa dengan memberi judul pemberitaan diskriminatif, seperti : “7 Pemuda Gondrong Merampok Biskota”, “Waktu Mabuk Di Pabrik Peti Mati: 6 Pemuda Gondrong Perkosa 2 Wanita”, “5 Pemuda Gondrong Memeras Pakai Surat Ancaman”, “Disambar Si Gondrong”.
Harian Pos Kota dan Harian Angkatan Bersenjata gemar melekatkan kata-kata berunsur kriminal, seperti merampok, memerkosa, memeras, hingga pecandu narkotika, diasosiasikan dengan rambut gondrong.