Imbasnya, hal ini menegaskan citra orang berambut gondrong sebagai pelaku kriminal.
Mental Orde Baru ini masih terlihat nyata, seperti yang baru-baru ini terjadi di SMPN 1 Maniis, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, di mana rambut sekitar 90 siswa dicukur secara asal-asalan oleh anggota TNI yang bertugas sebagai Bintara Pembina Desa (Babinsa) di wilayah sekolah tersebut.
Kejadian seperti ini menunjukkan bahwa praktek-praktek otoriter dan pemaksaan masih ada dan bisa memengaruhi kehidupan pendidikan di beberapa tempat.
Jika dikontekstualisasikan dengan isu razia cukur rambut yang sering terjadi di sekolah, para tenaga pendidik, termasuk guru, sering kali menggunakan dalil superioritas dengan pernyataan "saya duluan makan garam" ketika ada gagasan berbeda yang diajukan oleh murid.
Guru dianggap sebagai "orang tua kedua" yang tidak boleh dibantah. Padahal dunia sudah berubah, bukan lagi soal makan garam, siswa sekarang juga sudah makan micin.
Sama halnya dengan logika pasangan saya, ketika saya menawarkan argumentasi alternatif, ia selalu berargumen 'ikut aturan, dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung.'
Saya tidak menentang prinsip menghargai rumah orang ketika berkunjung, namun dalam konteks pendidikan, sekolah seharusnya dianggap sebagai rumah kita sendiri, bukan hanya sebagai tempat bertamu.
Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, jika guru sering dianggap sebagai orangtua kedua, dan sekolah sebagai rumah di mana kita harus berdiskusi dan mencari pemahaman bersama, bukan sekadar mengikuti aturan tanpa pertimbangan, tidak melibatkan murid.
Sekolah seharusnya bukan tempat untuk fashion show yang hanya sibuk dengan urusan teknis terkait penampilan, seperti menentukan kaos kaki mana yang boleh atau tidak boleh dipakai.
Jika sekolah terlalu fokus pada hal-hal teknis semacam itu, maka ada risiko siswa kehilangan daya kritis mereka dan menjadi seperti robot yang hanya mengikuti peraturan tanpa pemahaman yang mendalam.