Mohon tunggu...
Mahéng
Mahéng Mohon Tunggu... Penulis - Travel Writer

Lahir di Aceh, Terinspirasi untuk Menjelajahi Indonesia dan Berbagi Cerita Melalui Karya

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Gus Dur dan Politik Indentitas: Apa yang Salah?

11 September 2023   17:29 Diperbarui: 11 September 2023   18:28 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Cangrukan dan Pemikiran Gus Dur. Foto Dokumentasi Aji Binawan Putra

Pelibatan agama dalam politik bukan barang baru di Indonesia, dan ini pada dasarnya sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Hal serupa juga terjadi di negara-negara Barat yang notabenenya menganut prinsip sekularisme. 

Dalam konteks Indonesia, selama masa kolonialisme, doktrin agama seperti jihad, sebagai contoh, digunakan untuk melegitimasi perjuangan melawan pemerintah kolonial.

Mungkin kamu akan bertanya, lantas bagaimana dengan politik identitas? Ini merupakan pertanyaan yang mirip dengan salah satu pertanyaan dari salah satu penggerak Gusdurian, Maria Al-Zahra atau Ara, yang diajukan dalam cangkrukan pada Jumat, 8 September 2023 yang lalu. 

Ara bertanya, "Mengapa ada politisi yang mengeksploitasi ayat-ayat suci untuk kepentingan politik, terutama menjelang pemilihan presiden 2024?"

Cangkrukan adalah istilah dalam bahasa Jawa yang dapat diartikan sebagai dialog santai. Dalam edisi bulan ini, Cangkrukan mengangkat tema yang sangat istimewa, yaitu membedah buku Ajaran-ajaran Gus Dur: Syarah 9 Nilai Utama Gus Dur yang ditulis oleh Nur Kholik Ridwan. Poin utamanya adalah Tauhid, menjadi dasar pemikiran dan tindakan utama Gus Dur.

Dokumentasi Cangrukan dan Pemikiran Gus Dur. Foto Dokumentasi Aji Binawan Putra
Dokumentasi Cangrukan dan Pemikiran Gus Dur. Foto Dokumentasi Aji Binawan Putra

Obrolan yang berlangsung cukup menarik, karena tidak hanya dihadiri oleh penggerak Gusdurian yang beragama Islam, tapi juga ada non-Muslim. Bahkan, ada seorang peserta dari New York yang sedang menjalani magang di Gusdurian.

Saya ditunjuk untuk menjadi moderator mendampingi Siti Muliana, pemantik diskusi. Awalnya, saya sempat ragu, karena pengetahuan saya belum mencapai level moderator, dan terlebih lagi, di Jaringan Gusdurian, saya baru mengikuti beberapa kali edisi cangkrukan.

Saya sempat merasa khawatir dengan peran saya sebagai moderator, mengingat pengetahuan saya yang terbatas dan ketidaktahuan saya tentang konsep Tauhid secara komprehensif. Meskipun saya telah berpartisipasi dalam beberapa diskusi sebelumnya, saya belum pernah mengambil peran penting seperti ini.

Untuk itu, saya meminta penjelasan dari para peserta diskusi, dan setiap orang setuju bahwa Tauhid tidak hanya diucapkan tetapi juga dipraktikkan.

Senada dengan apa yang disampaikan oleh Rivaldi Abdul, biasa dipanggil Didi. Ia mengutip sebuah artikel karya Charles J. Adams yang berjudul Islamic Religious Tradition dari buku The Study of the Middle East. Buku ini dikuratori oleh Leonard Binder. Artikel Adams menyoroti keterkaitan antara inward experience (pengalaman batiniah, iman) dan outward behavior (perilaku lahiriah, ekspresi) dalam praktik keagamaan.

Iman tentang keesaan Tuhan, Tauhid, adalah nafas dari praktik keagamaan, dan perilaku keagamaan itu sendiri adalah manifestasi dari iman. Ada sebuah ungkapan kondang untuk mempertegas pernyataan ini dari Gus Dur sendiri, yaitu, "Guru spiritual saya adalah realitas, dan guru realitas saya adalah spiritualitas."

Sehingga, gagasan utama dalam cangkrukan kali ini adalah konsep Tauhid dan aplikasinya dalam kehidupan sosial kita. Tauhid, sekali lagi, merupakan inti dari keimanan, dan setiap agama memiliki konsep keyakinan yang unik. Dalam Islam, misalnya, kita mengenal Allah sebagai الرحمن  (Ar Rahman) dan الرحيم  (Ar Rahiim).

Karena itu, masalah yang sangat memprihatinkan yang perlu kita bahas adalah paradoks kekerasan yang dilakukan atas nama Allah, baik secara fisik maupun verbal. Banyak orang yang mengaku percaya kepada Tuhan yang الرحمن, pengasih, tetapi mengapa mereka tidak bisa menunjukkan kasih-mengasihi kepada sesama manusia?

Banyak orang mengaku mencintai Allah yang penuh الرحيم, penyayang, tetapi mengapa mereka sulit menyayangi satu sama lain dalam kehidupan sehari-hari, terutama kepada orang-orang yang berbeda agama? Bahkan untuk sesama muslim saja, sering terjadi saling membid'ah-bid'ah dan mengkafirkan.

Di sinilah pertanyaan Ara dapat ditemukan jawabannya. Tidak salah ketika seorang muslim memilih pemimpin yang juga muslim, tetapi menjadi bermasalah adalah ketika jelang pemilu muncul politisi yang tiba-tiba menunjukkan dirinya alim, "bertauhid", mendekatkan diri dengan ulama, dan kemudian mengklaim bahwa yang tidak memilihnya dianggap tidak membela agama.

Ini tentu jauh berbeda dengan konsep "bela tanah air" yang difatwakan oleh KH. Hasyim Asyari, meskipun keduanya sama-sama menggunakan agama. Bedanya yang satu menggunakan agama untuk kepentingan perut, yang lainnya untuk melawan penjajah.

Forum lantas menjadi sangat riuh ketika Siti Muliana, menyinggung topik tentang Gus Dur sebagai 'wali' yang agung. Hampir semua tidak setuju dengan anggapan tersebut, menandakan bahwa para penggerak Gusdurian tidak memposisikan Gus Dur sebagai orang suci yang sempurna.

Dalam hal ini, Hamatsa Hafidzu lalu menyebut Gus Dur sebagai inspirasi, karena ia melambangkan demokrasi dalam tindakan. Gus Dur adalah seorang "democracy on the spot," yang berarti bahwa Gus Dur selalu bersedia mendengarkan rakyat dan mengambil keputusan berdasarkan masukan dari rakyat. Gus Dur juga merupakan seorang pembela yang kuat untuk hak asasi manusia dan keadilan sosial.

Oleh sebab itu, siapa pun bisa menjadi penerus Gus Dur asal bersedia mempraktikkan sembilan nilai utama. Nilai-nilai tersebut dimulai dengan Ketauhidan seperti yang sedang kita diskusikan, dilanjutkan dengan nilai Kemanusiaan, Keadilan, Kesetaraan, Pembebasan, Kesederhanaan, Persaudaraan, Keksatriaan, dan Kearifan Tradisi. Nilai-nilai ini melampaui batas-batas agama dan budaya.

Setelah itu, Dendy mengajukan pertanyaan, "Apakah kesembilan nilai tersebut sengaja disusun dengan urutan seperti itu, dimulai dengan Tauhid, lalu diikuti dengan Kemanusiaan, dan seterusnya? Mengapa demikian?"

Nur Solikin kemudian menjelaskan bahwa kesembilan nilai utama tersebut tidak berasal langsung dari Gus Dur. Nilai-nilai tersebut merupakan hasil dari proses perumusan oleh para penggerak Gusdurian, salah satunya Solikin sendiri.

Secara ab initio, ada banyak nilai yang diasosiasikan dengan Gus Dur, dibuktikan dengan sepuluh gelar Doctor Honoris Causa yang diterima Gus Dur. Berdasarkan penuturan Solikin, ada sekitar 38 nilai yang awalnya dipertimbangkan, yang kemudian dikerucutkan menjadi sembilan nilai utama.

"Hasilnya, jika kita visualisasikan sebagai sebuah lingkaran, maka tauhid akan berada di titik pusat, dan kemudian di lapisan-lapisan berikutnya, diisi dengan nilai-nilai yang lain," kata Solikin menanggapi pertanyaan Dendy.

Jika kita mengibaratkannya sebagai pohon, tauhid dapat dianalogikan sebagai akar, atau inward experience (pengalaman batiniah, iman), bercermin dari konsep Charles J. Adams. Sehingga, jika akarnya sakit atau mati, maka pohon akan layu atau tumbang, namun jika akarnya sehat, maka pohon akan tumbuh subur, outward behavior (perilaku lahiriah, ekspresi). Jika sudah begitu, pohon tersebut dapat melindungi dan menaungi apa yang ada di bawah dan di sekelilingnya.

Last but not least, saya berterima kasih atas kesempatan untuk menjadi bagian dari pertukaran pandangan yang bermakna ini. Ini telah memperdalam pemahaman saya tentang nilai-nilai utama Gus Dur dan memotivasi saya untuk terus belajar, bertumbuh, dan berkembang.

Doakan saya agar dapat menulis lebih banyak lagi, setidaknya delapan nilai utama yang tersisa.

***

Jika Anda telah sampai di sini, terima kasih telah membaca. Jangan ragu untuk meninggalkan kritik dan saran di kolom komentar agar saya dapat menulis dengan lebih baik lagi. [Mhg].

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun