Namun demikian, cinta dan seksualitas adalah dua hal yang berbeda dan tidak dapat dipertukarkan. Cinta memiliki sifat spiritual dan rohaniah, sedangkan seksualitas adalah kebutuhan tubuh bagi makhluk hidup untuk berkembang biak.Â
Saya sendiri masih menentang istilah "bercinta" pada aktivitas seksual, yang menurut pandangan saya, hanyalah sebuah aktivitas keintiman, bukan sepenuhnya didasarkan pada cinta.
Sangat masuk akal untuk percaya bahwa Laksmi menulis novel ini juga berdasarkan cinta, baik cinta untuk perempuan dan perjuangan mereka atas hak-hak yang terus-menerus ditindas, maupun cinta untuk bangsa dan rakyat Indonesia yang telah diperlakukan tidak adil oleh negara. Â
Hal ini ditunjukkan oleh upaya Laksmi Pamuntjak untuk merenungkan tragedi 1965 dengan menggunakannya sebagai latar belakang sejarah untuk novelnya.Â
Sesuai dengan analisis Antonius Hendrianto dalam artikelnya Refleksi Tragedi 1965 dalam Novel 'Amba' Karya Laksmi Pamuntjak, Laksmi menggunakan karakter-karakter dari cerita Mahabharata untuk menyuarakan kebutuhan akan penebusan atas kesalahan-kesalahan masa lalu yang dilakukan selama pembantaian massal setelah peristiwa G30S (Gerakan 30 September) dan pengasingan tahanan politik ke Pulau Buru.
Meskipun merupakan karya fiksi, novel ini dengan jelas menyoroti perspektif lain dari peristiwa sejarah tersebut. Â
Sesuai dengan judulnya dalam edisi Bahasa Indonesia, tokoh utamanya adalah Amba, seorang wanita tangguh, cerdas, dan mandiri.Â
Ada juga karakter bernama Bhisma, yang menjadi satu-satunya cinta Amba. Mereka saling jatuh cinta ketika Amba bekerja di Kediri.
Sayangnya, Bhisma diasingkan ke Pulau Buru sebagai tahanan politik setelah peristiwa G30S dan tidak pernah kembali. Â
Karakter laki-laki lainnya adalah Adalhard, keturunan orang Jerman yang membantu Amba ketika dia bingung mencari Bhisma. Ada pula Salwani Munir (Salwa) dan Samuel sebagai pelengkap cerita.Â
Dalam diskusi buku kali ini, kami juga membicarakan mengapa karya sastra hebat selalu memiliki sentuhan roman di dalamnya.Â