Saya teringat kutipan menarik dari salah satu tokoh Sufi terkemuka, Jalaluddin Rumi, dalam sajak terkenalnya: Dengan hidup yang hanya sepanjang setengah tarikan napas, jangan tanam apapun kecuali cinta. Â
Karena itu, saya sepakat dengan banyak orang yang percaya bahwa "cinta" adalah kosakata tanpa antonim.Â
Perasaan cinta tidak bisa didefinisikan hanya dengan kata-kata. Jika bisa didefinisikan, maka itu bukanlah cinta, melainkan sebuah perhitungan atau kalkulasi.
Perasaan inilah yang dirasakan oleh Amba Kinanti pada Bhisma dalam novel The Question of Red, atau edisi Bahasa Indonesia berjudul Amba: sebuah novel karya Laksmi Pamuntjak.
Ketika bertemu dengan Bhisma Rasyad, Amba mengalami perubahan besar. Ia menjadi cemburuan dan sepenuhnya berbeda dari dirinya sebelumnya, yang dulu mandiri dan punya pemikiran jauh ke depan.
Setelah mengenal Bhisma, ia mulai merasa inscure.Â
Padahal pada usia 18 tahun, Amba sama sekali tidak memikirkan pernikahan; sebaliknya, ia bertekad untuk melanjutkan pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi.Â
Memang ada faktor bahwa Amba adalah putri seorang guru di sebuah kota kecil bernama Kadipura di Jawa Tengah, Indonesia.Â
Di sisi lain, membaca sejarah bisa menjadi melelahkan bagi mereka yang sama sekali tidak tertarik padanya. Namun, siapa yang bisa menolak daya tarik sebuah cerita sejarah yang dipadukan dengan kisah cinta?Â
Sama seperti Tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer, yang begitu dikagumi oleh banyak orang, baik dalam bentuk buku maupun film. Hal yang sama berlaku untuk novel Amba karya Laksmi Pamuntjak.
Perbedaannya adalah, Tetralogi Pulau Buru menggunakan adegan percintaan untuk mengantarkan kita pada isu-isu dan perjuangan yang lebih dalam yang ingin dikampanyekan oleh Pramoedya, sementara novel Amba hampir sepenuhnya berkisah tentang perjuangan cinta. Â