Setidaknya enam ratus ton sampah masuk ke Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Piyungan setiap harinya. Pada hari-hari besar, sampah yang masuk bisa mencapai sembilan ratus ton.Â
Dengan luas 12,5 hektar (ha), TPST yang beroperasi sejak 1996 di Ngablak, Sitimulyo, Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul sudah tidak mampu lagi menampung sampah yang datang dari tiga wilayah di Yogyakarta: Kota Yogyakarta, Sleman, dan Bantul.
Sehingga pada Jumat, 21 Juli 2023 lalu, Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta mengeluarkan surat edaran terkait penutupan TPST Piyungan yang berlaku selama 45 hari, mulai dari tanggal 23 Juli sampai dengan 5 September 2023.
Sangat disayangkan bahwa pengelolaan sampah di TPST Piyungan tidak mencerminkan namanya sebagai tempat pembuangan sampah terpadu.
Dampak dari penanganan sampah yang kurang efektif ini menyebabkan munculnya berbagai persoalan, salah satunya adalah overload atau melebihi kapasitas yang seharusnya dapat ditampung oleh TPST tersebut. Â
Menurut Dokumen Informasi Kinerja Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (2020) dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Yogyakarta, TPST Piyungan telah mengalami overload kapasitas sejak tahun 2012.Â
Peristiwa overload kapasitas ini berkaitan erat dengan model pengelolaan sampah di TPST Piyungan yang menerapkan skema open dumping atau sampah dibuang begitu saja.
Jika kamu jalan-jalan ke tempat ini, sampah setinggi kurang lebih 136 meter mendominasi lanskap kawasan tersebut.Â
Bau busuk yang menguar dari timbunan sampah dan air lindi (cairan beracun yang dihasilkan dari endapan air dalam timbunan sampah) akan menyengat menusuk hidung dari radius tujuh kilometer.
Sistem open dumping tanpa diiringi dengan penerapan 3R (reduce, reuse, dan recycle) berdampak tidak hanya pada manusia, tetapi juga menyebabkan sekitar 4 hektar sawah milik warga mengalami kerusakan akibat limpasan air lindi.
TPST ini beberapa kali pindah pengelolaan. Dari penelusuran saya, awalnya di bawah Sub Dinas Cipta Karya, Dinas Pekerjaan Umum Yogyakarta. Kemudian pengelolaannya beralih menjadi kerjasama dengan Sekretariat Bersama Kartamantul (Yogyakarta, Sleman, Bantul).
Selanjutnya, pengelolaannya kembali diambil alih oleh pihak provinsi, lewat Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan, dan Energi Sumber Daya Mineral. Saat ini, TPST berada di bawah Balai Pengelolaan Sampah, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan DIY sejak tahun 2019.
Pergantian pengelola itu membawa konsekuensi tersendiri terkait sampah, manajemen, hingga kesejahteraan karyawan.
Solusi sampah ala Desa PanggungharjoÂ
Desa Panggungharjo di Kecamatan Sewon, Bantul, punya solusi untuk mengatasi sampah. Bisa dibilang, desa ini dapat dijadikan salah satu desa percontohan dalam pengelolaan sampah.
Pengelolaan sampah di desa ini dilakukan oleh Kelompok Usaha Pengelola Sampah (KUPAS) yang merupakan Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) Panggungharjo sejak 2012. Dengan kapasitas pengelolaan, KUPAS dapat menampung hingga 30 ton sampah per hari.
Layanannya kemudian ditingkatkan sejak diluncurkannya aplikasi 'Pasti Angkut' sejak Senin, 19 September 2022 lalu.
KUPAS Â bertransformasi menjadi Bumdes yang pertama sebagai salah satu pilar ekonomi desa Panggungharjo. Desa Panggungharjo sendiri memiliki komitmen yang dituangkan dalam slogan "Desa Bersih Tanpa TPA".Â
Bumdes Kupas menjadi ujung tombak dalam pengelolaan sampah dari masyarakat, sehingga terkelola dengan baik tanpa harus terpengaruh oleh kondisi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) seperti penutupan TPST Piyungan.
KUPAS mengelola tiga kategori sampah yang memiliki nilai ekonomi. Pertama, sampah organik berupa sisa makanan dan sampah dapur. Sampah organik di sini diproses menjadi sejumlah produk seperti pupuk kompos, media tanam lunak, dan media tanam komplit. Â
Selain itu, sampah organik yang tidak bisa menjadi produk tadi juga masih bernilai. Kupas menjualnya ke tempat budidaya maggot.
Kedua, sampah residu, yaitu sampah anorganik seperti sobekan plastik yang tidak memiliki nilai ekonomi. Kupas mengolah sampah kategori residu menjadi sebuah produk paving. Sampah residu terpilah yang mengalami proses pembakaran. Setelah itu proses pencetakan yang menghasilkan paving bernilai Rp10 ribu per biji.Â
Ketiga, sampah anorganik rongsok yang masih bisa dijual kembali untuk mendapatkan nilai ekonomi. Kupas punya mekanisme pengumpulan lewat bank sampah yang tersebar di setiap dusun.Â
Bank sampah ini akan mengumpulkan sampah rongsok dari warga lalu menjualnya ke Kupas. Kategori inilah yang bisa berubah bentuk menjadi tabungan emas.Â
Kupas Panggungharjo bekerja sama dengan Pegadaian untuk mengonversi hasil jualan sampah rongsok masyarakat menjadi tabungan berupa emas. Masyarakat memiliki dua pilihan, langsung menarik hasil penjualan berupa uang tunai atau menabungnya.Â
Untuk membantu proses penjemputan sampah dari rumah-rumah masyarakat, KUPAS menggunakan aplikasi 'Pasti Angkut'.
Tarif pengangkutan sampah di KUPAS sangat fleksibel, dengan tarif sebesar seribu rupiah per satu kilogram sampah.Â
Jika dibandingkan dengan tarif layanan pengangkutan sampah yang umum di Daerah Istimewa Yogyakarta, biasanya berkisar antara 25 ribu hingga 50 ribu rupiah, tarif KUPAS terbilang lebih rendah dan lebih terjangkau bagi masyarakat.
Lewat aplikasi 'Pasti Angkut', setiap warga mendapatkan kepastian penjemputan sampahnya karena pembayaran dihitung berdasarkan pemilahan sampah yang dihasilkan.Â
Hal ini mengedukasi masyarakat untuk memilah sampah secara mandiri sejak dari rumah.Â
Dengan cara ini, masyarakat menjadi lebih sadar akan pentingnya pengelolaan sampah yang baik dan berkontribusi dalam menjaga lingkungan dengan melakukan pemilahan sampah sebelum diserahkan kepada KUPAS melalui aplikasi tersebut.
Mulai dari hal terkecil
Isu sampah tidak pernah selesai jika kita tidak memulai dari hal yang paling kecil, yaitu diri sendiri. Ini juga tulisan kesekian saya terkait sampah di Kompasiana.
Dalam banyak forum, kita seringkali memperdebatkan dan saling lempar tanggung jawab terkait isu ini.
Di lingkungan saya sendiri, belum ada pengelolaan sampah seperti di Desa Panggungharjo, dan masih menggunakan pengelolaan sampah konvensional yang berakhir di TPST Piyungan.
Karena itu, saya belajar dan mencoba mengelola sampah yang saya hasilkan sendiri agar tidak keluar dari pagar indekos saya.
Sampah dari sisa makanan, saya gunakan untuk pupuk tanaman saya, sementara sampah yang bisa saya bakar seperti plastik, saya akan membakarnya sedikit demi sedikit.
Memang saat ini saya sendiri belum sepenuhnya bisa lepas dari sampah plastik, karena banyak kemasan keperluan sehari-hari seperti deterjen, sabun, hingga sampo masih menggunakan kemasan plastik.
Saya sempat menulis tentang rekomendasi saya terkait isu ini, yaitu kepada semua pihak, termasuk pemerintah hingga pengusaha, untuk mengembangkan warung dengan konsep bulk store.
Warung dengan konsep bulk store masih jarang ditemukan di Indonesia, namun umum di negara-negara maju.
Bulk store adalah toko dengan konsep zero waste yang menjual berbagai kebutuhan dasar tanpa menggunakan kemasan plastik. Di sini, pembeli harus membawa tempat belanja sendiri atau menggunakan yang disediakan oleh toko.
***
Jika Anda telah sampai di sini, terima kasih telah membaca. Jangan ragu untuk meninggalkan kritik dan saran di kolom komentar agar saya dapat menulis dengan lebih baik lagi. [Mhg].
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H