Sains bekerja berdasarkan kausalitas (sebab akibat) dan bersifat horizontal, terkait materi dengan materi. Jika kamu melakukan A dengan Metode B, maka kamu akan menghasilkan C.
Analogi sederhananya begini, ada dua orang yang sakit akibat kecelakaan dan dibawa ke rumah sakit yang sama untuk mendapatkan perawatan yang sama. Beberapa waktu kemudian, salah satu dari mereka meninggal dunia sementara yang lainnya tetap hidup.
Pertanyaannya adalah, "Kenapa satu orang meninggal sedangkan yang lainnya tetap hidup?"
Di sinilah peran agama masuk. Artinya, kehidupan dan kematian seseorang tidak sepenuhnya tergantung pada dokter atau rumah sakit.
Secara umum, kita tahu bahwa definisi kematian adalah berhentinya secara permanen fungsi berbagai organ vital (seperti jantung, paru-paru, dan otak) sebagai satu kesatuan yang utuh yang ditandai dengan berhentinya konsumsi oksigen.
Pertanyaannya adalah, "Kenapa organ vital tersebut bisa berhenti berfungsi?"
Sains hanya bisa menjelaskan bagaimana organ vital tersebut berhenti berfungsi karena faktor tertentu, seperti kecelakaan. Namun, kenapa tidak semua korban kecelakaan meninggal dunia?
Lalu, kita kembali ke teori yang disampaikan oleh Yuval. Bagaimana jika suatu hari nanti ada chip yang ditanam ke dalam tubuh manusia dan manusia menjadi abadi?
Sama seperti tidak semua orang yang batuk bisa sembuh dengan Bodrex, tidak semua orang akan menjadi abadi hanya karena adanya teknologi chip tersebut.
Di sini lain, sehebat apapun teknologinya, ia tetap memiliki kelemahan. Termasuk ChatGPT yang tidak akan dapat menggantikan sastrawan karena tulisan yang dihasilkan oleh kecerdasan buatan tidak memiliki "jiwa".
Seberapa mahal pun mobilnya, tetap akan memiliki umur pemakaian. Saya berhipotesis bahwa jika teknologi yang dimaksudkan oleh Yuval menggabungkan robot dengan manusia, ingatlah bahwa sehebat apapun robotnya, tetap akan ada batas masa pemakaian.