filsafat, dan pada saat yang bersamaan, saya juga sedang mendalami filsafat, khususnya filsafat Islam.
Beberapa waktu lalu, di sebuah forum, saya berdiskusi dengan seorang kenalan baru. Ceritanya, ia tertarik dengan temaDiskusi kita berlanjut pada tema kecerdasan buatan. Ia menyebut bahwa dia telah selesai membaca buku Homo Deus karya Yuval Noah Harari, seorang sejarawan Israel yang juga menjabat sebagai profesor di Departemen Sejarah Universitas Ibrani Yerusalem.
Dalam buku Homo Deus, Yuval menjelaskan bahwa ada tiga agenda manusia yang diperkirakan akan terjadi di masa depan, yaitu keabadian, kebahagiaan, dan keilahian. Namun, penekanan utama adalah pada konsep keabadian.
Konsep ini menggambarkan bagaimana manusia di masa depan akan berusaha mencapai keabadian, mirip dengan dewa.
Buku tersebut menjelaskan bahwa manusia di masa depan akan menggabungkan ilmu komputer, sains, bioteknologi, dan rekayasa genetika dengan teknologi untuk memperpanjang umur mereka.
Selain itu, tujuan lainnya adalah kemungkinan adanya integrasi antara manusia dan mesin, di mana manusia bisa bertransformasi menjadi entitas robotik. Hal ini memang merupakan kemungkinan yang dapat terjadi.
Lantas, teman saya ini berceloteh, "Maheng, jika suatu saat itu benar-benar terwujud, apakah kamu masih percaya pada agama (maksudnya percaya kepada Tuhan)?"
Saya tidak tahu persis apakah pertanyaan ini dimaksudkan untuk menyerang keyakinan saya atau hanya rasa ingin tahu belaka.
Lantas saya membalas dengan bertanya kembali, "Bro, apakah kamu benar-benar ingin tahu atau hanya ingin menguji keimanan saya? Jika kamu benar-benar ingin tahu, saya akan menjawab berdasarkan perspektif filsafat."
"Ingin tahu," kata dia.
Agama berangkat dari pertanyaan "Kenapa," sedangkan Sains, dalam hal ini kecerdasan buatan, berangkat dari pertanyaan "Bagaimana."