Beberapa waktu lalu, ramai diperbincangkan di media sosial tentang Gereja Protestan di Bavaria, Jerman yang mengadakan ibadah dipimpin oleh teknologi ChatGPT menggunakan teknologi terbaru Artificial Intelligence (AI).
Tak main-main, hampir 98% prosesi ibadah dibantu oleh teknologi kecerdasan buatan.
Mulai dari memimpin lebih dari 300 orang melalui doa, musik, khotbah, hingga pemberkatan selama 40 menit oleh avatar yang menggantikan pendeta.
Avatar yang memimpin ratusan jemaat gereja tersebut diciptakan oleh ChatGPT dan Jonas Simmerlein, seorang teolog dan filsuf dari Universitas Wina.
Tidak hanya dalam bidang pendidikan, pro dan kontra penggunaan AI dalam kehidupan sehari-hari sangat banyak.
Misalnya, dalam bidang pendidikan, banyak lembaga pendidikan yang melarang penggunaan AI karena dianggap memiliki banyak dampak negatif, seperti membuat orang menjadi malas dan menggantikan peran guru.
Namun, menurut pandangan saya, ini adalah logika yang keliru. Saya sependapat dengan Pencipta ChatGPT sekaligus CEO OpenAI, Sam Altman.
Kehadiran ChatGPT dapat berperan dalam perkembangan peradaban manusia, tergantung pada bagaimana penggunaannya.
Sebagai analogi klise, pisau di tangan orang jahat bisa digunakan untuk membunuh, tetapi di tangan orang yang tepat, bisa digunakan untuk mengupas sayur dan buah.
ChatGPT sama halnya seperti Google atau kalkulator yang tidak dapat menggantikan peran guru matematika.
Contoh lainnya adalah apakah kehadiran kamera pintar di perangkat gawai kamu bisa menghilangkan profesi fotografer? Apakah jika kamu bisa memasak di rumah, maka restoran-restoran akan bangkrut?