Mohon tunggu...
Mahéng
Mahéng Mohon Tunggu... Penulis - Travel Writer

Lahir di Aceh, Terinspirasi untuk Menjelajahi Indonesia dan Berbagi Cerita Melalui Karya

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Menelisik Jejak Mahkamah Konstitusi dalam 20 Tahun Terakhir: Perkembangan, Tantangan dan Harapan

11 Juli 2023   21:14 Diperbarui: 11 Juli 2023   21:20 455
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Alamat surat pertama MKRI. Foto: Difoto dari Buku Sejarah Pembangunan Gedung MK

Pada tanggal 13 Agustus 2023, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) akan merayakan usianya yang ke-20. Sebagai lembaga yang relatif muda, MKRI telah melewati berbagai tantangan dan prestasi yang signifikan sepanjang perjalanan tersebut.

Artikel ini merekam perjalanan MKRI selama 20 tahun dan menggambarkan harapan publik terhadap lembaga tersebut. 

Sejarah Singkat Mahkamah Konstitusi

Secara teoritis, keberadaan mahkamah konstitusi (constitutional court) diperkenalkan pertama kali pada tahun 1919 oleh pakar hukum asal Austria, Hans Kelsen (1881-1973). 

Hans Kelsen berpendapat bahwa pelaksanaan konstitusional tentang legislasi hanya dapat dijamin secara efektif jika ada sebuah organ yang memiliki tugas khusus untuk menguji produk hukum konstitusional dan tidak memberlakukannya jika dianggap tidak sesuai dengan konstitusi. Perlu ada organ khusus yang disebut Verfassungsgerichtshof.

Sehingga, Austria sering disebut sebagai negara pertama yang mendirikan Mahkamah Konstitusi (Verfassungsgerichtshof) pada abad ke-XX. Namun, ada catatan lain yang menunjukkan bahwa sebenarnya Cekoslovakia adalah yang pertama mendirikannya pada bulan Februari 1920 (Palguna, 2018).

Bila ditelusuri dalam sejarah penyusunan UUD 1945, ide Hans Kelsen mengenai pengujian UU sebangun dengan usulan Muhammad Yamin dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Menurut Yamin seharusnya Balai Agung (atau Mahkamah Agung) diberi wewenang untuk menguji undang-undang (judicial review).

Usulan itu disanggah oleh Soepomo karena UUD 1945 yang sedang disusun tidak menganut konsep pemisahan kekuasaan, tetapi pembagian kekuasaan. Selain itu, menurut Soepomo, tugas hakim adalah melaksanakan undang-undang, bukan menguji undang-undang (Tim Penyusun, 2007).

Ide pembentukan lembaga Mahkamah Konstitusi muncul kembali setelah perubahan ketiga UUD 1945  pada tahun 2001. UUD 1945 menetapkan tenggat waktu paling lambat 17 Agustus 2003 untuk pembentukan lembaga tersebut (Yusdiansyah, 2010).

Ketentuan mengenai lembaga yang diberi nama Mahkamah Konstitusi (MK) ini dirumuskan dalam Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24C UUD 1945. Sebelum MK dibentuk, segala kewenangannya dilaksanakan oleh Mahkamah Agung.

Selanjutnya, untuk merinci dan menindaklanjuti amanat Perubahan Ketiga UUD 1945, Pemerintah bersama DPR membahas RUU-MK. Setelah melalui pembahasan yang panjang, RUU tersebut disahkan dalam sidang paripurna DPR pada 13 Agustus 2003 dan dimuat dalam Lembaran Negara menjadi UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Bersamaan dengan dikeluarkannya UU tersebut, pada saat itu Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) lahir sebagai verfassungsgerichtshof ke-78 di dunia.

Wewenang dan Kewajiban Mahkamah Konstitusi

Konstitusi adalah ciri utama dari sebuah Negara Hukum (Rule of Law). Namun, Negara Hukum tidak dapat berfungsi dengan baik tanpa adanya demokrasi. 

Dalam perkembangan terkini, konsep ini disebut sebagai negara demokrasi yang berdasarkan pada hukum (constitutional democratic state). Konstitusi menjadi syarat utama bagi eksistensi demokrasi (Palguna, 2018). 

Jika kita menelisik lebih dalam, negara pada dasarnya adalah sebuah organisasi kekuasaan, dan kekuasaan selalu memiliki potensi untuk disalahgunakan (power tends to corrupt). Inilah mengapa kekuasaan negara harus dibatasi melalui konstitusi (Hadi, 2007).

Begitu pula ketika kita memperhatikan perjalanan negara Republik Indonesia, perkembangan pemikiran dan praktik mengenai prinsip negara hukum diakui mengandung kelemahan, yakni hukum menjadi alat bagi kepentingan penguasa. 

Hal tersebut dikarenakan pranata-pranata hukum lebih banyak dibangun untuk melegitimasi kekuasaan pemerintah (Nusantara, 1998). Fakta-fakta di atas juga yang menjadi landasan yang melahirkan MKRI (Daulay, 2006). 

Sehingga secara konstitusional MKRI mempunyai empat kewenangan dan satu kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 24C dan Pasal 7B UUD 1945 (Tim Penyusun, 2007). 

MKRI berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945. 

Pengujian UU terhadap UUD 1945 diperlukan karena belakangan banyak ditemui undang-undang yang secara substansial bertentangan dengan UUD 1945. Wewenang MKRI dalam menguji UU terhadap UUD 1945 inilah yang disebut dengan uji materil atau judicial review. 

Contoh kasus belum lama ini adalah judicial review tentang Masa Berlaku SIM (SIM seumur hidup).

Kewenangan MKRI selanjutnya adalah memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, serta memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Selain itu, MKRI berkewajiban memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Dengan demikian, MKRI memiliki peran penting sebagai penjaga konstitusi dan penjaga stabilitas demokrasi di Indonesia (the guardian of democracy).

Catatan 20 Tahun Mahkamah Konstitusi

Selama dua dekade berdiri, eksistensi MKRI tidak perlu diragukan lagi. Sebagai salah satu pemegang kekuasaan kehakiman dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, MKRI pernah berada di puncak kejayaannya. 

Meskipun tidak terlepas dari kritik, pada masa awal berdiri, kepercayaan masyarakat sangat tinggi terhadap MKRI, sehingga secara alami membangun kewibawaan pada lembaga the guardian of the constitution ini.

Namun, hal ini tidak terjadi secara instan, terutama jika melihat kondisi awal pendiriannya yang penuh tantangan. MKRI pada awalnya tidak memiliki kantor, pegawai, atau anggaran yang memadai.

Bahkan untuk pemilihan ketua dan wakil ketua pertama saat itu, kotak suara yang digunakan adalah tas milik Hakim Konstitusi Letjen TNI (Purn.) H. Achmad Roestandi, S.H. 

Kala itu, alamat surat menyurat menggunakan telepon seluler milik Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., Hakim Konstitusi yang kemudian terpilih menjadi ketua Mahkamah Konstitusi (Tim Penyusun, 2007).

Alamat surat pertama MKRI. Foto: Difoto dari Buku Sejarah Pembangunan Gedung MK
Alamat surat pertama MKRI. Foto: Difoto dari Buku Sejarah Pembangunan Gedung MK

Kepercayaan masyarakat dan kewibawaan tersebut terbangun karena MKRI berhasil menunjukkan kapasitas, ketidakterikatan, integritas, dan independensinya dalam menjalankan tugas dan kewenangannya. 

Namun, dalam beberapa tahun terakhir, terutama setelah dua kasus krusial yang menimpa MKRI dan melibatkan hakim konstitusi, kepercayaan tersebut telah terkikis. Terutama setelah ketua MKRI ketiga turut tersangkut dalam perkara penanganan sengketa pilkada.

Ujian bagi MKRI belum selesai. Dua operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK menyeret anggota MKRI, dan sejumlah kasus yang menjadi sorotan publik pun kembali mengemuka. 

Persoalan administrasi persidangan sengketa pilkada hingga kontroversi dalam pemilihan hakim konstitusi menjadi perhatian publik.

Kendati begitu, berbagai cobaan dan musibah ini harus menjadi pelecut bagi MKRI untuk melakukan perbaikan dan memperkuat kelembagaan. MKRI tetap menjadi harapan untuk mencari keadilan yang hakiki. 

Ini dibuktikan oleh Veri Junaidi, dkk dalam buku Membaca 16 Tahun Mahkamah Konstitusi. Veri menulis bahwa mereka mengumpulkan setidaknya 1.244 putusan MKRI dalam pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 (2003-2019) untuk mencatat perjalanan MKRI.

Dari data tersebut, Veri menyimpulkan bahwa terdapat rangkaian benang merah dalam perjalanan MKRI. 

Pertama, MKRI masih cukup konsisten dalam menerapkan peradilan modern yang terbuka. Keterbukaan ini dapat dirasakan melalui kemudahan akses informasi terkait persidangan, terutama akses terhadap putusan melalui kanal resmi www.mkri.id.

Selanjutnya, kedua, adalah fungsi MKRI sebagai pengawal konstitusi. Selain menguji UU pasca-perubahan konstitusi, MKRI juga menguji UU yang lahir sebelum amandemen konstitusi (1999-2002). Hal ini dapat dilihat melalui putusan MK No. 66/PUU-II-2004 ketika MKRI membatalkan Pasal 50 UU MK sendiri.

Ketiga, terdapat sejumlah catatan mengenai pemberlakuan hukum acara pengujian UU terhadap UUD 1945. Pelaksanaan RPH (Rapat Permusyawaratan Hakim) dan rapat pleno yang seharusnya dihadiri oleh 9 orang hakim tidak sepenuhnya lengkap. 

Terdapat 169 putusan dengan RPH yang hanya dihadiri oleh 8 orang hakim, bahkan terdapat 63 putusan dengan RPH yang hanya dihadiri oleh 7 orang hakim.

Selain RPH, ketidaklengkapan hakim juga terlihat dari rapat pleno atau pembacaan putusan. Sebanyak 387 putusan hanya dihadiri oleh 8 orang hakim saat pleno, bahkan 116 putusan pleno hanya dihadiri oleh 7 orang hakim.

Berdasarkan ketentuan hukum acara MK, hakim hanya dimungkinkan untuk tidak hadir jika terjadi "keadaan luar biasa" seperti meninggal dunia atau terganggu fisik dan jiwanya.

Keempat, hal ini dapat menjadi pertimbangan penting dalam perancangan UU yang dilakukan oleh pemerintah, DPR, dan masyarakat. Jumlah pengujian UU yang cukup banyak di MKRI menggambarkan adanya permasalahan terkait pembentukan regulasi dan substansi di Indonesia. 

Harapan Publik terhadap Mahkamah Konstitusi di Masa Depan

Publik memiliki harapan yang tinggi terhadap MKRI dalam meningkatkan kewibawaan dan martabat konstitusi. Harapan itu wajar setelah skandal demi skandal terjadi di lembaga yang dihuni para "negarawan yang menguasai konstitusi" ini.

Tugas berat kini ada pada pundak Anwar Usman dan Saldi Isra, Ketua dan Wakil Ketua MKRI periode 2023-2028. Publik berharap pada integritas mereka, terutama Saldi Isra, seorang akademisi kritis dan mantan pegiat antikorupsi. 

Terlebih, sebentar lagi akan memasuki tahun politik yang diwarnai dengan pelaksanaan pilkada ataupun kepala negara (Pilpres 2024), integritas MKRI akan semakin dibutuhkan. Bagaimana mereka bisa memutuskan berbagai sengketa terkait pilkada dengan seadil-adilnya.

Di sisi lain, upaya untuk mendapatkan kembali kepercayaan masyarakat dan kewibawaan tersebut hanya akan berhasil jika MKRI, melakukan pembenahan internal yang sudah lama tercoreng. Mulai proses rekrutmen, seleksi, hingga pengangkatan hakim. Jangan ada hakim-hakim ‘titipan’.

Keterbukaan dalam menerima kritik publik dan keberanian untuk melakukan otokritik merupakan suatu keharusan. Sesuai dengan filosofi "Rumah Konstitusi" yang dibangun tanpa pagar.

Saya pribadi percaya dan yakin, di bawah kepemimpinan Anwar-Saldi MKRI akan kembali kepada marwahnya sebagai benteng terakhir penegakan konstitusi di Bumi Pertiwi.

***

Jika Anda telah sampai di sini, terima kasih telah membaca. [Mhg].  

Referensi

Daulay, I. R. (2006). Mahkamah Konstitusi: Memahami Keberadaannya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

Hadi, N. (2007). Wewenang Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Prestasi Pustaka.

Palguna, I. D. (2018). Mahkamah Konstitusi: Dasar Pemikiran, Kewenangan, dan Perbandingan dengan Negara Lain. Jakarta: Konstitusi Press.

Tim Penyusun. (2007). Sejarah Pembangunan Gedung Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.

Veri Junaidi, d. (2019). Membaca 16 Tahun Mahkamah Konstitusi. Jakarta: KODE Inisiatif.

Yusdiansyah, E. (2010). Implikasi Keberadaan Mahkamah Konstitusi terhadap Pembentukan Hukum Nasional dalam Kerangka Negara Hukum. Bandung: Lubuk Agung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun