Saya adalah tipe orang yang memiliki ketertarikan lebih terhadap wisata alam. Apapun yang bernuansa alami, saya suka. Maklum, saya lahir dan besar di kampung.Â
Saat saya kecil, jangankan ponsel pintar, jaringan telekomunikasi pun tidak tersedia. Saat itu kami belum mengenal apa itu Tetris, Pac-Man, Sonic The Hedgehog, Snake Xenzia, yang sudah populer di kalangan anak-anak perkotaan seumuran kami.
Permainan paling modern bagi kami saat itu adalah Ludo atau Snakes & Ladders King. Â
Hampir setiap hari saya berinteraksi dengan alam, bermain dengan alam, hingga bekerja bersama alam. Mulai dari bermain congklak dengan melubangi tanah dan bijinya adalah bebatuan kerikil, gasing, petak umpet, hingga gobak sodor.
Semua permainan itu mendidik kami agar dekat dan cinta dengan alam.
Itulah yang membentuk mental saya dan selalu memunculkan hasrat untuk berkomunikasi dengan alam. Oleh karena itu, di depan kost saya, saya menanam berbagai jenis tumbuhan.Â
Karena itu, saya hampir tidak bisa menolak jika diajak berwisata alam seperti naik gunung atau sekadar berjalan-jalan di sekitar lereng.Â
Ceritanya, teman dekat saya, orang kota mungkin menyebutnya bestie, datang ke Indonesia. Dia penasaran dengan Nepal Van Java, sebuah desa wisata di Kabupaten Magelang.Â
Desa ini terletak di lereng Gunung Sumbing, tepatnya di Dusun Butuh, Desa Temanggung, Kecamatan Kaliangkrik. Dia mengajak saya untuk mengunjungi desa tersebut.Â
Tanpa banyak berpikir, meskipun belum tidur semalaman, saya setuju. Satu-satunya syaratnya adalah bahwa saya tidak akan mengemudi karena belum tidur.Â
Bertolak sekitar 68 kilometer dari tempat tinggal saya di Kalasan. Udara segar dan rumah-rumah penduduk yang saling bertumpuk dengan karakteristik perumahan di Nepal, memberikan pengalaman menarik di tempat ini.Â
Terlebih lagi, warna-warni yang terlihat pada rumah-rumah tersebut menambah daya tarik bagi para wisatawan yang datang berkunjung.Â
Dusun Butuh merupakan sebuah perkampungan tertinggi di Kabupaten Magelang dengan tata ruang alami dan posisi perumahan yang berjajar rapi menghadap selatan lereng Gunung Sumbing.Â
Susunan rumah warga di Dusun Butuh ini terlihat sangat unik. Sebelum dibangun rumah, lahan tersebut merupakan ladang pertanian warga dengan terasering yang memanjang secara beraturan.Â
Bagi kamu yang baru pertama kali mengunjungi tempat ini, disarankan untuk menggunakan kendaraan yang kuat menanjak, baik roda dua maupun roda empat, karena dusun ini berada di ketinggian 1.750 meter di atas permukaan laut (mdpl).Â
Kamu akan melewati sejumlah tanjakan saat menuju ke lokasi. Di beberapa titik, kondisi tanjakan cukup panjang dan curam, ini yang harus selalu diwaspadai. Jika merasa kelelahan, kamu bisa berhenti di beberapa titik untuk menikmati pemandangan sekaligus melepas penat.Â
Setelah tiba di tempat retribusi, tersedia area parkir kendaraan. Harga tiket masuk sekitar 10 ribu rupiah, dan biaya parkir untuk kendaraan roda dua sekitar 3 ribu rupiah, sedangkan untuk kendaraan roda empat sebesar 10 ribu rupiah.Â
Namun, perlu diperhatikan bahwa kamu tidak diperkenankan mengitari lokasi ini menggunakan kendaraan pribadi karena jalur sangat terjal, jadi akan sangat berbahaya terutama bagi kamu yang belum menguasai medan.
Terlebih lagi, cuaca di dusun butuh relatif dingin dengan suhu berkisar antara 13 hingga 29 derajat Celsius.Â
Dibangun sejak tahun 2019, hingga saat ini telah dilakukan beberapa penambahan spot dan fasilitas di lokasi tersebut. Â Salah satunya adalah keberadaan Gedung Serbaguna yang difungsikan sebagai galeri dan gardu pandang, yang juga dikenal sebagai Top Sky View.Â
Selain itu, fasilitas lainnya yang ditambahkan meliputi beberapa mobil Jeep Wisata. Teranyar adalah adanya Jembatan Kaca di Nepal Van Java, yang menjadi tambahan menarik di tempat tersebut.Â
Untuk menjelajahi spot-spot di Nepal Van Java, kami memutuskan untuk menggunakan jasa ojek yang disediakan oleh pemuda setempat. Kami membayar sekitar 50 ribu rupiah per motor (harga ini dapat bervariasi tergantung lokasi dan jarak spot yang dipilih).Â
Beberapa spot yang kami pilih untuk dikunjungi antara lain Jembatan Kaca, Teras Masjid, Taman Depok, plus Negeri Sayur Sukomakmur.Â
Negeri Sayur Sukomakmur terletak sekitar 1 kilometer di Barat Daya Nepal Van Java. Secara administratif, Negeri Sayur terletak di Dusun Nampan, Desa Sukomakmur, Kecamatan Kajoran, Magelang.
Jika kamu singgah ke dusun ini, kamu akan terpesona dengan keindahannya yang seolah-olah terlihat seperti lukisan alam. Ditambah dengan lanskap Gunung Sumbing yang kokoh.Â
Ladang sayuran hijau yang mengelilingi area ini menambah suasana di Negeri Sayur Sukomakmur menjadi sangat menenangkan. Di sini, terdapat berbagai jenis sayuran yang banyak ditanam, antara lain daun bawang, kentang, dan lobak.
Saat berkunjung ke Negeri Sayur Sukomakmur, terdapat beberapa fasilitas yang dapat ditemui. Salah satunya adalah gardu pandang yang sering digunakan sebagai spot foto favorit.Â
Ada juga warung tempat pengunjung dapat menikmati gorengan dan minuman hangat. Atap warung tersebut dapat digunakan untuk menikmati pemandangan luas sayuran di sekitar.Â
Waktu terbaik untuk mengunjungi destinasi alam ini adalah antara pukul 08.00 hingga 10.00 pagi untuk menghindari kabut yang bisa menghalangi pandangan dan mengurangi keindahan pemandangan.Â
Lanskap pada sore hari juga menawarkan pilihan menarik bagi pengunjung yang menyukai fotografi matahari terbenam di ufuk barat. Jangan lupa bawa kamera drone ya!
Jika ingin menghabiskan malam di sini, baik di Nepal Van Java maupun di Negeri Sayur, tersedia homestay dengan harga yang relatif terjangkau untuk pengunjung.
Keindahan Nepal Van Java dan Negeri Sayur Sukomakmur tidak dapat terwakili melalui tulisan ini. Saya sarankan kamu mengunjunginya sendiri dan rasakan sendiri pemandangan spektakuler yang ada di sana.
Namun, ada catatan mengenai penamaan destinasi wisata yang masih terjebak dalam "mental inlander" di banyak daerah di Indonesia. Mental inlander mengacu pada sikap menganggap segala sesuatu dari luar negeri lebih baik dan memandang budaya lokal sebagai buruk atau tertinggal.Â
Penggunaan nama seperti "Nepal Van Java", "Caribbean Van Java" untuk Karimun Jawa, "Japan Van Java" untuk Tegal, dan sejenisnya dapat menunjukkan kegamangan dalam mengakui keindahan alam Bumi Pertiwi. Â
Tanpa menjual adogium  " ... van Java" seharusnya negeri ini sudah perkasa dan bijaksana. Maaf ini pendapat pribadi.
Terakhir, penggunaan " ... van Java" disinyalir sebagai upaya untuk mengobati kekecewaan orang-orang yang tidak dapat berlibur ke luar negeri. Inilah contoh yang mencerminkan poin mental inlander yang saya sebutkan sebelumnya.
Sudah saatnya kita memiliki rasa percaya diri dan cinta terhadap bangsa kita sendiri, tentu saja dengan mengapresiasi dan menghargai budaya bangsa lain. Jika teman saya bisa mencintai Indonesia, mengapa kita sendiri tidak dapat melakukannya?
***
Jika Anda telah sampai di sini, terima kasih telah membaca. Jangan ragu untuk meninggalkan kritik dan saran di kolom komentar agar saya dapat menulis dengan lebih baik lagi. [Mhg]. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H