Mohon tunggu...
Mahéng
Mahéng Mohon Tunggu... Penulis - Author

Hidup adalah perpaduan cinta, tawa, dan luka. Menulis menjadi cara terbaik untuk merangkai ketiganya.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Salat Jumat dan Makna yang Lebih Dalam: Bukti Cinta dan Pengabdian, Bukan Transaksi Materi

7 Juli 2023   14:58 Diperbarui: 7 Juli 2023   15:04 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Makanan yang bisa disantap selepas salat Jumat. Foto: Dokumentasi Maheng.

Hujan membasahi Kadirojo siang ini, Jumat 07 Juli 2023. Tanggal yang cantik. Pukul 11.36, cuaca tidak terlalu dingin, tapi cukup menyegarkan. Dedaunan rontok menutupi teras indekos saya.

Pikiran saya tidak terlalu baik hari ini, apalagi setelah melihat pengumuman semalam. Saya membaca Maaf Kamu Belum Lulus. Saya sedikit kecewa. Sampai akhirnya mencoba berdamai dengan pikiran saya.

Nyatanya, setelah membaca buku Filosofi Teras karya Om Piring, saya mulai berlatih sehingga benar-benar lega. Saya bisa langsung mempraktikkannya.  

Saya merasa sudah berjuang sekuat tenaga berdasarkan arete atau virtue yang saya miliki. Hanya itu yang bisa saya lakukan. Hasilnya memang tidak bisa saya kendalikan. Yang bisa saya lakukan hanyalah berjuang.

Hal ini juga mengingatkan saya pada motto hidup saya, bahwa saya bukanlah pejuang terbaik, tetapi yang terbaik buat saya adalah berjuang.

Sebenarnya ini bukan kali pertama saya mengalami kegagalan, sudah sering terjadi sebelumnya. Namun, tidak sedikit juga yang berhasil. 

Saya selalu mengingatkan diri sendiri dengan kata-kata, "Ingatlah, Maheng, bahwa kamu belum diterima bukan berarti kamu tidak layak, tetapi mungkin rezekimu tidak berada di tempat itu."   

Saya langsung diingatkan oleh Mark Manson, penulis buku Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat, tentang masa bodoh dengan rintangan dan kegagalan dalam hidup. Karena benar kata Mark, segala halangan dan perjuangan dalam mencapai sesuatu pasti ada saja rintangan yang muncul. Jadi, ya, nikmati saja. 

Jika kita tidak bersedia untuk gagal, kita pun tidak bersedia untuk sukses. 

HUJAN BELUM JUGA BERHENTI. Setelah selesai dandan, saya memacu kendaraan menuju Masjid Nurul Islam. Saya memakai jas hujan yang sudah lama menggelantung di garasi. Maklum, cuaca di Yogyakarta memang mengalami anomali. "Mendung tidak berarti hujan" benar akhir-akhir ini.

Tetapi saya tidak terlalu peduli, karena memang manusia terkadang aneh. Saat musim hujan, ia merindukan kemarau. Saat kemarau tiba, ia berdoa agar hujan turun. 

Orang di kota ingin liburan di kampung yang penuh dengan sawah hijau. Orang di kampung berbondong-bondong menuju kota untuk meningkatkan "kualitas hidup". 

Kualitas hidup dewasa ini memang sering diukur secara transaksional. seperti lulus atau tidak lulus, semuanya dianggap sebagai transaksi. Ketika tidak lulus dianggap semua usahanya sia-sia, "percuma saya sudah berusaha, toh gagal juga".

Bahkan dalam hal salat Jumat sendiri, sering kali juga ada elemen transaksionalnya.

Misalnya, bagi anak kecil atau seperti saya yang tinggal di kos-kosan, dengan salat Jumat, mungkin diharapkan untuk ngalap berkah  (baca: dapat makanan gratis).  

Namun, orang dewasa kadang-kadang lebih tidak tahu diri. Salat Jumat dilakukan dengan niat untuk mendapatkan surga. 

Mungkin karena sejak kecil kita selalu diajarkan untuk menjadi materialistik. Semua diukur berdasarkan materi. Begitu juga ketika kita beribadah harus ada imbalan pahalanya.

Saya jadi teringat lagu Chrisye feat. Ahmad Dhani.

"Jika surga dan neraka tak pernah ada, masih kah kau bersujud padanya?"

Belum lagi kita yang dewasa, yang hanya menunaikan salat wajib di hari Jumat dan salat sunat di Hari Raya, sudah begitu minta surga.

Lantas, apakah mengharapkan snack atau makanan di masjid, atau bahkan mengharapkan pahala dengan salat Jumat itu salah?  

Ini bukan bicara tentang benar atau salah, karena itu adalah perdebatan yang tidak ada habisnya. Namun, pertanyaan yang lebih tepat adalah apakah itu bijak atau tidak?

Menurut catatan Huffington Post, dari setiap udara yang kita hirup, 20 persen di dalamnya terdiri dari oksigen. Sebagian besar sisanya adalah nitrogen. Dari 20 persen oksigen tersebut, kita menghembuskan kembali sekitar 15 persen oksigen dan 5 persen sisanya telah berubah menjadi karbondioksida. 

Nah, dalam sehari, diperkirakan manusia dewasa membutuhkan 550 liter oksigen murni. Jika oksigen dijual, berapa uang yang harus kita keluarkan untuk membelinya?

Harga oksigen murni yang dijual bebas saat ini adalah Rp25.000 per liter. Jadi, jika kita menghitung berdasarkan kebutuhan tersebut, berarti kita harus mengeluarkan Rp13.750.000 per hari.

Dan kita salat Jumat hanya selama 15 menit. Bagaimana jika situasinya dibalik, dan Tuhan meminta kita untuk membayar oksigennya?

Itu belum termasuk matahari, air, hingga mata yang kita gunakan untuk melihat.

Kalau kita kembali ke konsep "gagal" atau "berhasil" dan "lulus" atau "tidak lulus", serta membawanya dalam konteks Jumat, sejauh ini dalam hidup ini tidak ada istilah mutlak "berhasil" atau "gagal".

Sebagai seorang muslim, kita memahami bahwa kehidupan manusia dimulai dari alam arwah (ruh), alam rahim, alam dunia, alam barzakh, hingga akhirnya alam akhirat. 

Kita baru hidup di alam ketiga, jadi bagaimana mungkin kita sudah memutuskan apakah kita "berhasil" atau "gagal" padahal masih ada dua alam yang harus kita hadapi di masa depan?

Sekali lagi, salat Jumat untuk mengharap makanan atau bahkan mengharap surga sah dan diperbolehkan. Namun, itu tidak sepenuhnya mencerminkan arete atau virtue kita sebagai manusia. 

Tugas kita sebagai manusia adalah hidup sebaik-baiknya sesuai dengan potensi yang kita miliki. 

Jika kita seorang penulis, maka menulislah untuk kebaikan orang lain. Jika kita seorang penyanyi, maka menyanyilah untuk menghibur orang lain. 

Begitu juga jika kita seorang pendakwah, berdakwahlah untuk menciptakan kedamaian. Dan jika kita seorang insan, hiduplah dengan jiwa yang damai, tidak transaksional.


***

Jika Anda telah sampai di sini, terima kasih telah membaca. Jangan ragu untuk meninggalkan kritik dan saran di kolom komentar agar saya dapat menulis dengan lebih baik lagi. [Mhg].  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun