Mohon tunggu...
Mahéng
Mahéng Mohon Tunggu... Penulis - Author

Redaktur di Gusdurian.net dan CMO di Tamasya Buku. Penulis feature dan jurnalisme narasi di berbagai media.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mengubah Paradigma: Jakarta sebagai Inspirasi untuk Kota Lain yang Lebih Baik di Indonesia

22 Juni 2023   17:11 Diperbarui: 29 Juni 2023   08:16 368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menghadiri Bazar Buku di Institut Franais Indonesia Yogyakarta. Foto: Dokumentasi Maheng

Pada tanggal 22 Juni 1527, Pangeran Fatahillah, panglima pasukan kerajaan Demak-Cirebon, memimpin penaklukan Pelabuhan Kalapa yang menjadi pelabuhan utama Kerajaan Sunda. 

Pelabuhan ini telah lama menjadi pusat vital perdagangan bagi bangsa-bangsa Eropa yang menjadikannya sebagai jantung perniagaan di wilayah tersebut. 

Setelah berhasil mengusir Portugis, Pangeran Fatahillah tidak hanya merebut Pelabuhan Kalapa, tetapi juga mengubah namanya menjadi Jayakarta, yang artinya "kota kemenangan". 

Tanggal penyerangan tersebut kemudian ditetapkan sebagai Hari Jadi Kota Jakarta dan terus dirayakan hingga saat ini. 

Jayakarta mengalami beberapa pergantian nama seiring berjalannya waktu. 

Setelah menjadi Sunda Kelapa dari tahun 397 hingga 1527, kota ini berubah namanya menjadi Jayakarta setelah ditaklukkan oleh pasukan Pangeran Fatahillah pada tahun 1527 hingga 1619. 

Bagi orang Eropa saat itu, kota ini lebih dikenal sebagai Jacatra.

Pada tahun 1619, VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) berhasil merebut kota Jayakarta dan mengubah namanya menjadi Batavia (1619-1942). 

Namun, pendudukan Jepang di Indonesia dimulai pada tahun 1942 dan dalam upaya de-Nederlandisasi, nama Batavia diganti menjadi Djakarta atau Djakarta Tokubetsu Shi (1942-1945). Setelah Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, nama Jakarta tetap dipertahankan dengan meninggalkan nama Jepangnya. 

Pada tahun 1959, status Kota Jakarta berubah menjadi daerah tingkat satu yang dipimpin oleh gubernur, dan kemudian pada tahun 1961, statusnya diubah menjadi Daerah Khusus Ibukota (DKI). 

HARI INI, tanggal 22 Juni 2023, ibu kota Republik Indonesia, Jakarta, merayakan usianya yang ke-496.

Namun, dalam perjalanan sejarahnya, Jakarta telah dihadapkan dengan berbagai persoalan yang masih belum terselesaikan hingga saat ini. 

Salah satu persoalan utama yang telah menghinggapi Jakarta sejak tahun 1997 adalah masalah pencemaran udara yang belum mendapatkan penyelesaian yang signifikan. 

Pencemaran udara terus menjadi isu yang mengkhawatirkan dan memerlukan upaya yang lebih serius untuk mengatasinya. 

Selanjutnya, data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengungkapkan fakta yang jauh lebih mengerikan. Bahwa sebagian besar sampah di Jakarta merupakan sisa makanan. 

Pada tahun 2021, Provinsi DKI Jakarta menghasilkan sekitar 3,08 juta ton sampah, dan dari jumlah tersebut, sekitar 27,8% merupakan sisa makanan.

Selain itu, krisis lahan makam juga menjadi perbincangan yang ramai saat ini. 

Jakarta perlu mencari solusi yang efektif untuk mengatasi krisis ini, agar masyarakat dapat melaksanakan proses pemakaman dengan layak dan menghormati jenazah orang-orang tercinta. 

Jakarta Sebagai Inspirasi Untuk Kota Lain yang Lebih Baik. Foto: Dok. Maheng di Blok M
Jakarta Sebagai Inspirasi Untuk Kota Lain yang Lebih Baik. Foto: Dok. Maheng di Blok M

Selain itu, masalah penurunan muka tanah atau land subsidence yang diduga disebabkan oleh ekstraksi air tanah yang berlebihan juga tengah menjadi perbincangan hangat. 

Praktik ekstraksi berlebihan terhadap sumber daya air tanah telah menyebabkan penurunan permukaan tanah di berbagai area di Jakarta. Dampaknya sangat merugikan, termasuk kerusakan infrastruktur, kerusakan lingkungan, dan meningkatnya risiko banjir ketika musim hujan tiba. 

Menurut survei yang dilakukan oleh Centre for Strategic and International Studies (CSIS), pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) ke Kalimantan Timur diyakini tidak akan secara signifikan mengurangi berbagai permasalahan yang saat ini dihadapi oleh Jakarta.

Survei ini dilakukan dalam rentang waktu 28 Maret hingga 12 April 2022 dan melibatkan 170 responden dari berbagai kelompok ahli yang memiliki pengetahuan dan keahlian dalam memprediksi dan menganalisis isu-isu sosial, politik, dan ekonomi. 

Responden survei terdiri dari peneliti, akademisi, wartawan, pengusaha, anggota DPR/DPRD, anggota partai politik, birokrat, dan mahasiswa.

Meskipun pemindahan IKN dapat meringankan beban populasi dan aktivitas di Jakarta, masalah seperti pencemaran udara, krisis lahan makam, dan penurunan muka tanah tetap menjadi tantangan yang kompleks. 

Menurut survei CSIS tersebut, terdapat empat permasalahan utama Jakarta yang tidak dijamin akan berkurang setelah pemindahan ibu kota, yaitu kemacetan, penataan pemukiman kumuh, pengentasan banjir, serta peningkatan aksesibilitas air bersih bagi masyarakat.

Selain tantangan ekologi yang telah disebutkan di atas, Jakarta juga berperan sebagai "ruang tamu" Indonesia di mata dunia.

Selama lebih dari tujuh dekade, Jakarta telah menjadi magnet bagi penduduk dari berbagai daerah di Indonesia yang mencari peningkatan kualitas hidup. 

Meskipun ada yang berhasil, namun banyak juga yang menghadapi kegagalan. Sehingga muncul permasalahan sosial yang kompleks dan sulit terselesaikan, seperti kemiskinan dan rendahnya harapan hidup. 

Jakarta, sebuah kota yang telah menginjak usia hampir lima abad, memberikan refleksi yang mendalam bagi kita. Saatnya bagi kita untuk mengubah paradigma yang ada. Jika kita benar-benar mencintai Jakarta, mari kita hindari menambah beban dan masalah sosial dan ekologi di dalamnya.

Salah satu caranya adalah dengan tidak lagi hijrah ke Jakarta.

Saat ini, paradigma kita harus berubah. Mari kita bangun daerah kita masing-masing agar "lebih baik daripada Jakarta" dengan mengambil pelajaran dari kesalahan pengelolaan yang terjadi di kota ini. 

Hal ini sesuai dengan tema perayaan HUT ke-496 Kota Jakarta, "Jadi Karya untuk Nusantara".

Artinya, Jakarta harus menjadi contoh keberhasilan dalam membangun sebuah kota, bukan menjadi contoh permasalahan sosial dan ekologis. 

Dengan demikian, kota-kota baru di daerah lain di Indonesia, tidak hanya lebih ramah lingkungan tetapi juga harmonis secara sosial.

****

Menghadiri Bazar Buku di Institut Franais Indonesia Yogyakarta. Foto: Dokumentasi Maheng
Menghadiri Bazar Buku di Institut Franais Indonesia Yogyakarta. Foto: Dokumentasi Maheng

Rahmat Ali, yang kerap disapa Maheng, lahir dari keluarga sederhana di pedalaman Aceh, tepatnya di Gampong Paya Baro, Kecamatan Woyla Timur, Kabupaten Aceh Barat. Seiring perjalanan hidupnya, Maheng menemukan minatnya dalam dunia tulis-menulis saat bersekolah di MAN Meulaboh 1 yang kini dikenal sebagai MAN Aceh Barat. 

Namun, keterbatasan akses terhadap literasi di Aceh mendorongnya untuk berpindah ke Yogyakarta dan melanjutkan pendidikannya di UIN Sunan Kalijaga. 

Selama masa kuliah, Maheng giat belajar menulis dan mendapatkan bimbingan dari Andreas Harsono, seorang Peneliti Senior di Human Rights Watch sekaligus pengasuh Yayasan Pantau di Jakarta.

Maheng juga bergabung dengan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) bernama Humaniush untuk mempertajam keterampilan menulisnya.  

Ia bahkan sempat bekerja sebagai wartawan profesional di salah satu media nasional sebelum akhirnya memutuskan untuk kembali berdomisili di Yogyakarta guna belajar dengan lebih serius, terutama agar bisa menulis lebih baik lagi. Ia juga sedang mencari partner belajar bahasa Prancis.

Rencana Maheng ke depannya adalah kembali ke kampung halamannya ketika ia merasa telah memiliki bekal yang cukup. 

Saat ini, ia masih belajar menulis dan mulai mengekspresikan dirinya melalui tulisan dalam bahasa Indonesia di Kompasiana.com dan dalam bahasa Inggris di Peakd.com.  

***

Jika Anda telah sampai di sini, terima kasih telah membaca. Jangan ragu untuk meninggalkan kritik dan saran di kolom komentar agar saya dapat menulis dengan lebih baik lagi. [Mhg].

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun