Mohon tunggu...
I PutuMahendra
I PutuMahendra Mohon Tunggu... Lainnya - Product Manager / Data Manager

Suka menulis dan membaca buku-buku science & technology

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur Pilihan

Indonesia Maju Melalui Investasi Hijau: Peluang Ekonomi Baru dari Presidensi G20 dan Kebijakan Bank Indonesia yang Koheren

15 Juli 2022   19:12 Diperbarui: 15 Juli 2022   19:13 316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: ourworldindata.org

Ambil contoh sektor transportasi. Saat ini kita  melihat tren mobil listrik (EV) sedang naik daun, terutama dengan pemain-pemain baru, seperti Tesla, Rivian, Wu Ling, dan lain-lain. Akan tetapi, dibalik tren ini, kita juga melihat absorbsi pasar terhadap mobil listrik tersebut masih belum setinggi mobil konvensional berbahan bakar karbon.  Mengapa demikian? Antara lain, hal ini terjadi karena harga mobil listrik yang masih tergolong mahal dibandingkan dengan mobil bahan bakar karbon: sebagai gambaran, harga satuan termurah mobil listrik di Indonesia saat ini masih berkisar di angka Rp 600 juta, sedangkan harga satuan termurah mobil berbahan bakar karbon di Indonesia berkisar di angka Rp 200 juta. Hal tersebut, dan juga beberapa alasan lain, seperti jumlah stasiun pengisian listrik yang masih terbatas; menjadi kendala terbesar mengapa adopsi mobil listrik di Indonesia masih terbatas. Dari contoh ini, kita bisa melihat ketidak selarasan antara goals: adopsi mobil listrik sebesar-besar nya untuk mengurangi emisi, dan incentives: harga mobil listrik kompetitif atau lebih murah dibandingkan dengan mobil bahan bakar karbon.

Ketidak selarasan tersebut juga kita temui di sektor pembangkit tenaga listrik. Mengutip data dari Institute for Essential Service Reform (IESR), sepanjang kuartal II tahun 2018 -- data yang paling terkini yang tersedia untuk umum -- penambahan kapasitas listrik Indonesia dari sumber energi baru dan terbarukan (EBT) hanya sebesar 320 Mega Watt (MW), dan total kapasitas daya dari EBT tersebut hanya 9,2 Giga Watt (GW), atau sekitar 15% dari total kapasitas listrik nasional sebesar 62,6 GW di akhir tahun 2018. Belum lagi, data dari Statista menunjukan harga per Mega-Watt hour (MWh) dari sumber-sumber EBT masih tergolong lebih mahal dibandingkan dengan harga per MWh dari bahan bakar karbon, seperti batu bara. Maka, dari contoh in, kita juga bisa melihat sektor pembangkit tenaga listrik ini pun terdapat ketidak selarasan antara goals: meningkatkan kontribusi listrik dari EBT supaya mengurangi emisi; dan incentives: harga listrik per MWh dari EBT masih lebih mahal dibandingkan dengan harga listrik per MWh dari bahan bakar karbon.

Sumber: Statista
Sumber: Statista

Alhasil dari ketidak selarasan inilah yang menyebabkan hanya segelintir orang & perusahaan yang sadar lingkungan dan mampu saja yang berusaha secara aktif untuk mengurangi jejak karbon mereka. Beruntungnya, sejarah dunia mencatat bahwa ketidak selarasan goals dan incentives tersebut hakikinya merupakan permasalahan kebijakan. Sejarah revolusi industri di Eropa, Amerika, dan Asia Timur menunjukan ketika  pemerintah negara-negara tersebut mangambil kebijakan yang menyelaraskan goals dan incentives, maka industri di negara-negara tersebut bisa maju dengan cepat.

Dalam hal ini, kita bisa mengambil contoh negara-negara Uni Eropa (EU) yang boleh dibilang sudah mengembangkan industri hijau lebih awal. Di tahun 2005, EU mendirikan Emission Trading System (ETS) yang merupakan mandatory carbon market dimana setiap perusahaan di negara anggota EU wajib melaporkan jejak karbon mereka setiap tahun. Negara-negara anggota EU tersebut pun mengalokasikan bujet karbon untuk setiap perusahaan yang beroperasi di sana. Jika sebuah perusahaan menciptakan inisiatif yang mampu memangkas jejak karbonnya, maka perusahaan tersebut bisa menjual sisa alokasi bujet karbon yang ia terima ke perusahaan lain yang tidak mampu mengurangi jejak karbon nya.  Sistem ETS dan mandatory carbon market ini merupakan salah satu contoh inisiatif yang menyelaraskan goals dan incentives untuk mengurangi jejak karbon nasional di negara-negara tersebut.

Dalam konteks ini, Indonesia sebagai pemegang Presidensi G20 sungguh bisa memberikan dampak lebih dan memberikan contoh kepada dunia bahwa bahkan negara berkembang pun bisa menciptakan lingkungan yang kondusif yang menyelaraskan goals dan incentives untuk menggalakan investasi hijau di tanah air.  Dalam hal ini, Bank Indonesia (BI) dengan bekerja sama dengan instansi pemerintah lain pun bisa mengeluarkan seperangkat kebijakan koheren yang mampu menciptakan ETS mandatory carbon market di tanah air. Dengan menciptakan ETS, kita bisa menyelaraskan goals dan incentives untuk mengurangi jejak karbon nasional.

Sungguh, kegiatan pembangunan ekonomi rendah karbon hakikinya mempunyai potensi yang sangat besar. Tak heran, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) memprediksi kalau aktivitas baru ekonomi rendah karbon tersebut mampu menyumbang pertumbuhan PDB hingga 6% di tahun 2045, dan di saat yang sama juga bisa memangkas emisi GHG Indonesia hingga 43% di tahun 2030 - lebih besar dari yang Indonesia janjikan di Paris Agreement tahun 2015 sebesar 29% di tahun 2030.

Kalau sejarah start-up tanah air bisa menjadi acuan, ketika lingkungan usaha di negara kita cukup mendukung, kita hampir bisa memprediksi akan ada banyak masyarakat muda Indonesia yang mendirikan perusahan rintisan dengan basis teknologi hijau. Sebagai penggiat di bidang teknologi, penulis meyakini kombinasi investasi di teknologi hijau, jiwa entrepreneurship di antara pemuda Indonesia, kebijakan yang koheren, penerapan mandatory carbon market, dan penerapan sistem ETS nasional bisa mewujudkan sebuah mesin penggerak ekonomi baru untuk Indonesia maju yang berkelanjutan. 

Mudah-mudahan, dengan demikian, kita pun bisa meningkatkan kemakmuran di negeri, dan masih bisa berbagi ke anak cucu kita nanti kalau musim hujan masih jatuh antara bulan Oktober dan Maret -- sampai kapan pun.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun