Sejatinya, musim hujan jatuh antara bulan Oktober hingga Maret. Atau, setidaknya seperti itulah bunyi hukum alam yang tertuang di buku teks sains di seluruh dunia. Namun belakangan, nampaknya kita perlu merevisi bunyi hukum ini, karena pola cuaca yang semakin chaotic. Contoh saja, di tahun ini, kita masih bisa menemui hujan badai bahkan di pertengahan bulan Juli -- periode dimana sepatutnya sudah musim kemarau.
Tak ayal, Â penyimpangan pola cuaca ini disebabkan karena fenomena pemanasan global yang terjadi karena umat manusia secara kontinu memompa gas dioksida karbon dan gas rumah kaca (GHG) lain ke dalam atmosfer sejak revolusi industri di tahun 1760 hingga sekarang. Sebagai gambaran,7 milliar umat manusia saat ini menghasilkan 51 miliar ton gas Carbon Dioxide Equivalent (CO2e) setiap tahun.Â
Bill Gates melalui buku nya "How to Avoid Climate Disaster" dengan apik menjabarkan lima aktivitas ekonomi manusia yang menjadi penyumbang terbesar GHG ini, yakni: (1) pembangkit tenaga listrik (27%), (2) manufaktur (31%), (3) agrikultur (19%), (4) transportasi (16%), dan (5) pendinginan / pemanasan ruangan (7%).
Â
Dari daftar di atas, secara spontan kita bisa melihat kenapa problematika pemanasan global ini merupakan permasalahan yang pelik, karena bukan saja melibatkan sains & teknologi, tapi juga melibatkan perkembangan ekonomi & kesejahteraan bangsa-bangsa. Kenapa demikian? Karena kelima daftar aktivitas yang menjadi penyumbang terbesar polusi manusia tersebut sayangnya juga merupakan indikasi perkembangan ekonomi sebuah bangsa. Tidak heran, besaran emisi per kapita sebuah negara biasanya berbanding lurus dengan tingkat produksi domestik bruto (PDB) per kapita negara tersebut.Â
Sebagai contoh, mengutip data dari organisasi Centre for Global Development (CGDEV), dari 1,5 triliun ton CO2 yang umat manusia sudah pompa ke atmosfer dari tahun 1751, 38 negara maju yang tergabung dalam OECD menyumbang 59% emisi tersebut, sedangkan 52 negara termiskin di dunia hanya menyumbang kurang dari 1% emisi CO2 dalam kurun waktu yang sama. Sayangnya, dari trend ini, kita hampir bisa memprediksi bahwa seiring dengan negara-negara miskin ini berkembang, maka jumlah emisi per kapita dari negara-negara miskin tersebut pun akan tumbuh. Â
Di sisi lain, para pakar ilmiah climate change menyebutkan kita harus menghindari kenaikan  suhu atmosfer di atas 2 C dalam 100 tahun mendatang supaya tidak terjadi runaway global warming dimana efek pemanasan global menciptakan positive feedback yang akan mempercepat pemanasan global bahkan lebih lanjut. Sebagai gambaran, suhu atmosfer bumi hari ini sekitar 0,87 C lebih panas dibandingkan dengan masa pra-revolusi industri. Kita pun sudah bisa melihat efek korosif yang disebabkan oleh kenaikan suhu 0,87 C ini: kebakaran hutan, heat wave, pola cuaca yang tak menentu, gagal panen, kemunculan virus baru, pencairan es di kutub, kenaikan permukaan laut, perubahan garis pantai daratan, dan seterusnya. Bisa kita bayangkan bencana apa yang menanti seandainya kita membiarkan suhu atmosfer bumi melonjak hingga di atas 2 C.
Dari kedua argumen di atas, kita bisa mengapresiasi mengapa satu-satunya cara untuk menghindari batas 2 C dengan ekonomi yang tetap tumbuh adalah dengan menciptakan aktivitas-aktivitas ekonomi baru yang bersifat rendah karbon. Secara lebih spesifik, untuk menghindari limit 2 C tersebut, para pakar ilmiah menyarankan bujet karbon sebesar 1.076 milliar ton dari sejak 2021. Dengan hitungan sederhana, seandainya kita tetap memproduksi emisi GHG 51 miliar ton per tahun, maka bujet tersebut akan habis dalam kurun 21 tahun. Oleh karena itu, Â dorongan untuk merubah pola aktivitas ekonomi kita agar lebih carbon neutral atau bahkan carbon negative sejatinya merupakan sesuatu yang bersifat mendesak.
Lalu, jika dekarbonisasi merupakan sesuatu yang mendesak, kenapa hanya segelintir orang saja yang berusaha secara aktif untuk mengurangi jejak karbon mereka? Hal tersebut terjadi karena saat ini terdapat ketidak-selarasan antara goals dan incentives untuk mengurangi jejak karbon.