Klien pemasyarakatan merupakan seseorang yang memperoleh program reintegrasi dari pemerintah berupa pembebasan bersyarat (BP), cuti menjelang bebas (CMB), cuti bersyarat (CB), asimilasi dan lain sebagainya. Klien pemasyarakatan ini juga sering disebut sebagai Klien Pemasyarakatan. Menurut undang-undang klien pemasyarakatan yang telah dibebaskan akan menjadi tanggung jawab dari Pembimbing Kemasyarakatan (PK) yang menjalani program reintegrasi tersebut di masyarakat yang selanjutnya akan dilakukan Bimbingan dan Pengawasan oleh PK
Seseorang Klien Pemasyarakatan memiliki kewajiban untuk mentaati syarat berupa Syarat Umum dan Syarat Khusus. Syarat Umum berupa syarat tidak melakukan  pelanggaran hukum lainnya atau melakukan tindak pidana sehingga ditetapkan sebagai tersangka, sedangkan Syarat Khusus adalah syarat yang ditentukan seperti melakukan wajib lapor, tidak menimbulan keresahan kepada masyarakat ataupun tidak mengikuti atau mematuhi program pembimbingan yang ditetapkan dan jadwal yang ditentukan oleh Balai Pemasyarakatan.
Dua syarat tersebut wajib untuk ditaati oleh Klien emasyarakatan yang sedang menjalani Program reintegrasi, jika tidak maka program reintegrasi yang sedang dijalani nya bisa dicabut.
Bahkan menurut Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor 21 Tahun 2016 pasal 85A, pencabutan program integrasi ini juga dapat dilakukan apabila klien Bapas:
- Melakukan tindakan melawan hukum
- Terbukti melakukan pengulangan tindakan pidana.
- Menimbulkan masalah dan keresahan di dalam masyarakat
- Tidak melaksanakan kewajiban melapor kepada Bapas yang membimbing paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut
- Tidak melaporkan tentang perubahan alamat kepada Bapas yang membimbing
- Tidak mematuhi program pembimbingan yang telah dijadwalkan oleh Bapas.
Anggapan masyarakat tentang klien pemasyarakatan
Klien pemasyarakatan di tengah masyarakat Indonesia lebih dikenal sebagai mantan narapidana, yaitu bekas orang-orang yang pernah melakukan tindak kejahatan atau tindakan yang melawan hukum.Â
Dibalik apa yang sebenarnya telah terjadi dibalik diri klien pemasyarakatan tersebut selama di dalam penjara, masyarakat pada umumnya cenderung tidak peduli dan tetap menganggap orang-orang ini adalah orang-orang yang berbahaya dan perlu diwaspadai. Sehingga, tidak jarang ketika klienÂ
Bapas ini kembali ke tengah masyarakat mereka akan kesulitan dalam beradaptasi, bersosialisasi, bahkan mencari pekerjaan karena stigma negatif yang melekat pada dirinya meskipun sudah dinyatakan bebas.
Stigma negatif ini pun menyebabkan klien Bapas tersebut menjadi dikucilkan, disingkirkan, dan ditolak di lingkungan sosialnya. Stigma ini juga merupakan sebuah bentuk reaksi sosial yang lumrah terjadi di masyarakat sebagai bentuk respon atas perilaku individu tersebut di masa lalu. Jadi, hal ini merupakan bentuk dari konsekuensi yang diterima oleh mantan narapidana atas perbuatan yang telah dilakukannya.
Namun sayangnya, stigma sosial justru memberi dampak negatif bagi kehidupan dan juga mental seorang klien pemasyarakatan. Bahkan banyak diantara mereka yang akhirnya mengalami depresi, mengulang kembali perbuatannya dan bahkan ada yang meminta hukumannya untuk diperpanjang demi menghindari sanksi sosial tersebut.
Disinilah peranan semua pihak diperlukan, mulai dari pemerintah, Pembimbing Kemasyarakatan hingga peraturan-peraturan adat yang ada di dalam masyarakat agar kehidupan klien Bapas ini menjadi jauh lebih dan tidak lagi menerima penolakan di dalam masyarakat. Peraturan adat juga harus bisa menjembatani kehidupan para klien pemasyarakatan dengan lingkungan sosialnya.
Peraturan adat yang seperti apa?Â
Bagaimana sebaiknya hukum adat dalam mendukung pemulihan kehidupan klien pemasyarakatan ini? Yaitu hukum adat yang tetap mempertimbangkan sisi kemanusian dan Hak Asasi Manusia.Â
Sayangnya banyak peraturan adat di Indonesia yang justru malah memperburuk keadaan mental dan kehidupan dari klien pemasyarakatan tersebut. Sebagai contoh hukum adat Kasepekang yang ada di Bali, dimana pelaku akan dikucilkan dan tidak akan diajak bicara dalam jangka waktu tertentu serta hukum adat Kaselong yang mengusir pelaku kejahatan dari desa.
Jadi, sebaiknya hukum adat yang selama ini bertentangan dengan beberapa hak asasi manusia seperti yang telah disebutkan sebelumnya segera dipertimbangkan, disesuaikan dan seharusnya dirubah dengan mempertimbangkan  hak asasi manusia. Seperti hak untuk mengembangkan diri, hak untuk memperoleh rasa aman, hak untuk hidup, hak bersosialisasi, hak kesejahteraan dan lain sebagainya.
Sebab, klien pemasyarakatan merupakan bagian dari masyarakat yang wajib dijaga hak-haknya. Mereka memang pernah melakukan kejahatan atau perbuatan yang melanggar hukum. Namun, semua telah mereka tebus di dalam penjara dan hukuman ini telah sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H