Mohon tunggu...
Dwipayana Putra
Dwipayana Putra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

wow

Selanjutnya

Tutup

Politik

Politik Dinasti Dalam Konsepsi Negara Demokrasi

15 Juni 2024   06:37 Diperbarui: 15 Juni 2024   06:37 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Demokrasi adalah antibiotik di tengah infeksi monarki pada masa lalu. Berbagai anggapan mengenai demokrasi bernada indah dengan narasi kewenangan tertinggi berada di tangan rakyat, dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat yang sangat berlawanan dengan sistem monarki saat itu. Monarki adalah sistem pemerintahan absolut yang penguasa tertingginya adalah raja yang dipilih berdasarkan keturunan atau silsilah keluarga. Di lain sisi demokrasi menjadi obat atas kekuasaan absolut sistem monarki yang menitikberatkan proses pemerintahan dan pengambilan kebijakan didasarkan pada suara rakyat, pemerintah dipilih oleh rakyat dan negara diberi kewenangan oleh rakyat untuk menjalankan pemerintahan melalui pemerintah terpilih. Dalam sistem demokrasi semua warga negara memiliki kedudukan yang setara atau egaliter, semua berhak memilih dan dipilih tanpa adanya paksaan atau penindasan kaum tertentu. Senada dengan semboyan revolusi Perancis liberte, egalite dan fraternite yang merupakan semboyan perlawanan terhadap dominasi monarki Perancis saat itu. Demokrasi tumbuh dengan nilai-nilai yang sama dalam semboyan tersebut yang menjadikannya suatu korelasi historis. 

"Vox populi vox dei" suara rakyat adalah suara tuhan. Berjalannya suatu negara demokrasi dilandasi oleh restu rakyat yang artinya dalam setiap kebijakan atau keputusan yang dibuat oleh pemerintah harus mendapat persetujuan rakyat. Dalam perjalanannya parlemen menjadi jembatan aspirasi rakyat yang menghubungkan kepentingan rakyat dengan tugas dan tanggung jawab pemerintah (eksekutif). Parlemen sebagai perwujudan keterwakilan rakyat dalam sistem demokrasi haruslah mengedepankan aspirasi rakyat bukan kepentingan segelintir orang atau kelompok. Demokrasi selalu mengekang dan membatasi kekuasaan sang penguasa, sistem demokrasi membuat sekat antara pemerintah dan kekuasaan sehingga pemerintah tidak bisa berkuasa secara absolut seperti raja di negara monarki. Sekat tersebut dapat ditemui dari kompleksnya aturan-aturan yang dibuat untuk membatasi kekuasaan pemerintah dari awal pemilihan umum sampai nantinya ketika sudah resmi menjabat. Sekat lainnya dapat ditemui dari pemisahan kekuasaan antar lembaga negara yang dikenal dengan istilah "Trias Politica" yang terdiri dari lembaga legislatif, lembaga eksekutif dan lembaga yudikatif. Lembaga-lembaga negara saling mengawasi atas kinerja satu sama lain, check and balance diperlukan dalam sistem demokrasi untuk menciptakan kestabilan pemerintahan dan keadilan sosial. 

Tidak ada sistem yang sempurna, begitupun dengan demokrasi. Disarikan dari Lord Acton "power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely", penguasa selalu memiliki cara-cara kotor dalam melanggengkan kekuasaannya. Propaganda demagog yang menyerang oposisi, mengubah konstitusi sesuka hati, melemahkan lembaga-lembaga penegak hukum, membungkam lembaga pers, tindakan represif aparat terhadap rakyat dan nepotisme berkedok HAM merupakan sedikit cara untuk berkuasa di negara demokrasi. Cara-cara kotor tadi bisa saja dilakukan secara senyap ataupun secara gamblang ditampilkan ke publik tergantung strategi para penguasa. Dalam negara demokrasi untuk mencapai pucuk kekuasaan tidak akan menjadi mudah apabila dilakukan sendiri, diperlukan dukungan dari berbagai pihak semisal pembentukan koalisi antar partai, mengumpulkan simpatisan dan berbagai dukungan politik lainnya demi menggalang suara rakyat banyak. Semakin banyak dukungan, semakin besar koalisi maka semakin besar juga beban yang dipikul calon penguasa, karena para pendukung tadi juga menginginkan kekuasaan di pemerintahan dengan berbagai kepentingannya. Politik balas budi dan bagi-bagi jabatan barangkali sudah biasa diterapkan di negara demokrasi untuk memuaskan para pihak-pihak yang telah memberi dukungan dan untuk menguatkan akar kekuasaan. Pihak yang kalah dalam pemilu tidak ujug-ujug langsung menjadi oposisi, sebenarnya mereka pun ingin mendapat kekuasaan, maka cara terbaik dari penguasa untuk meredam oposisi adalah dengan memberi calon oposisi potensial jabatan strategis di pemerintahan. 

Belakangan ini beranda kita dipenuhi dengan notifikasi berita yang berisikan kata "Politik Dinasti" atau "Dinasti Politik", lalu pertanyaannya apa itu politik dinasti dan apakah mungkin politik dinasti tercipta di negara demokrasi? Menjawab yang pertama, sebagaimana disarikan dari website MKRI, bahwa politik dinasti adalah kekuasaan politik yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih terikat hubungan darah. Selanjutnya jawaban untuk yang kedua adalah mungkin, dalam melihat kasus ini bukan saja hanya dilihat dari sistem yang berlaku karena sistem adalah benda mati yang bisa digerakan dan dimainkan oleh manusia yang menguasainya namun, paradigma penguasa terhadap kekuasaan juga perlu dilihat dalam kasus ini. Penguasa cenderung mempunyai tendensi untuk mempertahankan kekuasaannya dengan cara apa pun salah satunya adalah dengan menarik sanak saudara masuk ke lingkaran politik dan memegang jabatan strategis dalam pemerintahan sehingga kekuasaan yang telah dibangun kian menguat. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah politik dinasti adalah nepotisme? Nepotisme adalah setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa dan negara. Definisi tersebut sudah cukup untuk menjawab pertanyaan ketiga tadi. 

"Politik Dinasti" adalah salah satu bentuk nepotisme yang secara gamblang dipertunjukan ke hadapan publik. Dinasti politik dapat meningkatkan risiko korupsi, nepotisme, dan penyalahgunaan kekuasaan. Sistem yang mengutamakan hubungan pribadi dan loyalitas daripada aturan formal dan transparansi akhirnya rentan terhadap praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Tembok-tembok yang sebelumnya dibangun untuk membatasi kekuasaan absolut kini dengan mudah dirobohkan dengan palu konstitusi, hal ini menandakan matinya demokrasi. Amerika Serikat mempunyai aturan dan norma yang mencegah nepotisme dalam pemerintahan. Misalnya, "Anti-Nepotism Statute" atau "Bobby Kennedy Law" yang diadopsi setelah Presiden John F. Kennedy menunjuk saudaranya sebagai Jaksa Agung. Hukum ini dirancang untuk mencegah pejabat federal dari menunjuk kerabat dalam lingkungan yang mereka pengaruhi atau kontrol. Peraturan yang lebih tegas diperlukan untuk membatasi kekuasaan absolut dan batasan-batasan tersebut harus jelas dengan sanksi yang keras pula. Dalam menanggapi isu ini, masyarakat memiliki andil yang besar dalam menyuarakan suaranya terkait demokrasi dan hak-hak politiknya, demokrasi mati di tangan penguasa dan dihidupkan di tangan rakyat. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun