“Ide ini sudah lama, jauh sebelum pandemi,” imbuhnya. Dengan modal awal sekitar 8 juta. Kopi yang digiling dan diracik di tempat ini dia jual dengan harga terjangkau. Rp 8.000 – Rp 12.000 per cup. Dalam sehari dia bisa jual 25 hingga 30 Cup. Seharian dari pukul 08.00 – sekitar 18.00 Wita.
Trus dimana dia belajar jadi Barista. “Saya belajar otodiak, dari internet,” kata Ketut. “Sebelum saya berani jual ke orang, saya sering coba dulu ke saya dan teman-teman,” tambahnya.
Tapi memang mantap kopi racikan dia. Menurut saya. Saya bukanlah ahli kopi, hanya sekedar penikmat kopi. Dan kawan-kawan yang bersamaan dengan saya ngopi di tempat dia di pinggir jalan ini semua bilang kopinya mantap dan enak.
“Meracik kopi itu ada passion, ada seni dan kepuasan tersendiri disamping kepuasan buat pelanggan,” kata pria ramah ini dengan gembira. Pak Ketut ini tidak terlalu tua. Baru sekitar 47 tahun umurnya. Dia tidak tahu sampai kapan akan berjualan kopi ini. Apakah ketika kondisi sudah normal dia akan kembali ke profesi dia sebagai sopir travel, dia tidak tahu juga.
Pendemi ini memang tidak perlu disikapi dengan bersedih yang berlebihan. Selalu berusaha mencari terobosan hal-hal baru. Dan harus berani mencoba. Semoga Pak Ketut Mayong selalu sehat, tetap semangat dan rejekinya agar senantiasa lancar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
