Semenjak musim Covid ini saya lebih senang belanja kepeluan sehari-hari di pinggir jalan. Niatnya bukan apa, hanya ingin bantu orang-orang yang lagi jualan saja. Pandemi ini begitu dahsyat membanting profesi orang. Banyak dari profesi yang sangat mapan, di Bali terutama dari sektor pariwisata. Kini mereka beralih berjualan di pinggir jalan.
Saya tinggal di bilangan Renon, Denpasar. Nah di ruas jalan utama di Renon saat ini banyak sekali pedagang bermobil. Ada penjual makanan gudeg, pecel, buah-buahan, sembako, cemilan, tissue, kacamata, bahkan ada yang jual aquarium. Semuanya bermobil. Rata-rata korban pandemi dan sebagian besar mantan pekerja sektor pariwisata, hotel, travel, restoran, dll.
Harga jualan mereka untuk barang yang sama lebih murah daripada di swalayan atau pasar tradisional sekalipun. Mungkin karena mereka tidak menyewa tempat, tidak bayar karyawan bahkan mungkin pajak. Apakah barang KW ? No…Asli !
Sebelum pandemi ruas jalan ini termasuk steril dari pedagang bermobil, maklum ini kawasan protokol, pusat pemerintahan Bali. Saat ini ramai, dan saya pun tidak setuju kalau mereka ditertibkan, diusir misalnya. Kasihan, biarkan sementara. Mereka hanya mengais rejeki receh. Dapur mereka harus tetap ngebul.
Nah di antara deretan pedagang bermobil itu, ada satu pedagang yang sangat mengusik perhatian saya. Bukan bermobil. Sebenarnya sudah sebulan terakhir ini saya tertarik, karena tiap hari saya pasti lewat ruas jalan ini. Dan Minggu pagi ini setelah melaksanakan rutinitas selama pandemi yakni gowes, saya samperin.
Dia adalah penjual kopi dengan menggunakan sepeda. Kalau hanya sekedar jualan kopi trus apanya yang menarik ? Jangan dibayangkan dia jualan kopi scachet-an yang digantung-gantung dengan kopi berbagai merek itu.Trus ada termos seperti biasanya. Nggak Bro ! Ini kekinian.
Penjual kopi ini bernama Ketut Astika. Dia menggunakan satu buah sepeda gayung yang dimodifikasi berisikan kargo. Istilah umumnya Cargo Bike. Dia mengklaim mungkin dia satu-satunya sementara yang di Bali berjualan kopi seperti ini.
Di atas kargo berjejer alat-alat peracik. Ada manual grinder, alat pembuat kopi V60, ada French press dan juga Teko leher angsa. Laksana seorang Barista di coffee shop, dia siap menghadirkan racikan berbagai jenis kopi. Kopi Arabika Kintamani, Robusta Pupuan, Robusta Java, Arabika Toraja, Arabika Flores, dan House Bland.
“The art of making coffee”, kata Ketut. Saya yakin dia fasih berbahsa Inggris. Maklum sopir travel yang sering antar bule di Bali. Ketut terinspirasi menjual kopi dengan Cargo Bike dari apa yang ada di Jerman, Belanda, juga Denmark. Saya nggak tahu apa Ketut pernah ke tiga negara itu. Setidak-tidaknya bule-bule yang dia sopiri sering cerita. Mungkin.
Ketut Astika ini berasal dari Mayong. Sebuah desa di Bali Utara sana. Maka dari itu dia biasa dipanggil Ketut Mayong. Meski bernama Ketut, brand kopi yang dia jual dia namai Made Coffee. Nama anaknya. Brand ini terpampang rapi di kargonya. Tidak lupa akun IG-nya :@madecoffee2020 juga dicantumkan
“Saya baru mulai jualan 1 Oktober 2020,” kata Ketut. Dia mengambil tempat strategis di Jalan Raya Puputan, di dekat kantor BCA Renon. Ini jalan lumayan lebar, teduh karena banyak pepohonan. Jangan bayangkan tempat kita menikmati kopinya layaknya tempat duduk di coffee shop. Kita menikmati di pinggir jalan. Pak Ketut menyiapkan alas yang dia letakkan di atas sebuah meja beton. Bekas dudukan Sentra Telepon Otomat (STO) milik Telkom. Nah disinilah kita duduk-duduk.