Mohon tunggu...
I Nengah Teguh Wahyu Pranata
I Nengah Teguh Wahyu Pranata Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Minister of propaganda, false mesias, colonial prisoner, socialist loser. Can be searched on instagram as teguh.inst

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dari Max Havelaar hingga Bumi Manusia, Menilik Salah Satu Penyebab Hilangnya Wajah Jawa

26 Desember 2023   14:02 Diperbarui: 4 Maret 2024   00:43 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

24 Desember, Akhir bulan sekaligus tahun ini untuk kedua kalinya saya menghabiskan Max Havelaar, sebuah karya fenomenal dari Edward Douwes Dekker dengan nama pena Multatuli. "Aku Telah Menderita Cukup Lama" begitulah makna yang tersirat dari nama pena Dekker yang ditulis dalam Bahasa Latin itu. Dirinya merupakan mantan Asisten Residen di Lebak, Banten pada pertengahan periode 1800an.

Sebagai seorang Belanda, Dekker terusik nuraninya ketika mendapati rakyat di tanah jajahan mengalami kemiskinan, penindasan, dan perbudakan oleh tangan-tangan kotor "saudara" mereka, serta bobroknya sistem yang diberlakukan pemerintah kolonial yang memperburuk keadaan.

Atas berbagai ketimpangan dan pemandangan memprihatinkan yang acap kali ditemukannya, Dekker kemudian menerbitkan karya luar biasa sepeninggal dari Hindia Belanda setelah mengabdi untuk kepulauan di Selatan Cina itu selama 18 tahun. Tulisan yang terbit pada tahun 1860 itu kelak menyebabkan pemerintah kolonial menerapkan politik balas budi sekaligus mengubah arus sejarah sebuah masyarakat dan entitas kebudayaan di sebuah negeri yang terpengaruh oleh peradaban India, menuju apa yang dikenal dengan pembelajaran, sebuah pemberontakan pembebas pikiran.

Max Havelaar, buku ini dimulai dengan celotehan dari seorang tokoh bernama Droogstoppel, yang mendapati pria berselendang,  salah seorang teman kecilnya baru saja kembali dari negeri Hindia dengan kesan kotor dan tidak terhormat. Meski ditulis dalam historiografi Nerlandosentris dengan sedikit kejutan dan tekanan mental di awal, kisah tragis humanis ini pada gilirannya memberikan kesan lucu yang sesekali membuat kita berpikir bahwa puncak komedi adalah realita. Saya sendiri kesulitan membaca buku ini dan baru menemukan arahnya setelah menyentuh bab 7. 

Secara umum, Max Havelaar menceritakan kondisi sosial masyarakat Hindia Belanda yang berada dalam belenggu feodalisme namun dengan kolonialisme di atasnya. Buku ini menyorot bagaimana Regen bergelar Adipati yang diangkat oleh pemerintah kolonial sebagai ambtenar melakukan berbagai penyelewengan terhadap bangsanya sendiri demi memperkaya diri. Sebagai gambaran, seorang Regen merupakan penguasa lokal yang oleh pemerintah kolonial diangkat dan digaji layaknya PNS. Regen dalam menjalankan tugasnya juga ditemani oleh seorang Asisten Residen sebagai pejabat perwakilan pemerintah kolonial yang secara teori bertindak sebagai seorang kakak yang bertugas mengawasi Adipati. Ya, secara teori, faktanya tidak demikian.

Dalam menjalankan tugasnya, sering kali seorang Regen berlaku semena-mena terhadap rakyatnya. sebagai pengantar, ketika orang putih datang dan memaksa petani pribumi menggunakan sebagian tanah dan tenaganya untuk menanam jenis-jenis tanaman yang akan mendatangkan keuntungan besar di Eropa, pemerintahan putih hanya perlu menjalakan kebijakan sederhana, bahwa masyarakat sangat patuh terhadap pemimpin lokalnya sehingga menunggangi para pemimpin itu dengan janji penghasilan menyebabkan skema yang diinginkan berhasil sepenuhnya. Masyarakat pribumi menanam tanaman yang diinginkan kemudian menyetorkannya kepada Adipati yang pada gilirannya memberikan hasil-hasil itu kepada pemerintah kolonial. 

Semua itu terkesan tidak terlalu buruk sampai para pembaca tahu bahwa harga ditetapkan bukan oleh masyarakat melainkan pemerintah kolonial; bahwa terdapat hukuman bagi mereka yang menjual hasil pertaniannya kepada pihak selain pemerintah kolonial; bahwa ketika terjadi surplus panen, seorang Regen akan mendapatkan bonus tambahan tetapi hal ini justru menyebabkan mereka memerintahkan masyarakat untuk menggunakan seluruh tanah dan tenaganya untuk menanam tanaman yang diinginkan; dan yang lebih buruk masyarakat harus mengelola tanah milik Regen ketika Asisten Residen sedang tidak di tempat.

Dua poin terakhir membutuhkan penjelasan lebih lanjut. Pertama para Regen memanfaatkan ketidaktahuan rakyatnya mengenai dirinya yang kini digaji pemerintah telah menjual haknya dan hak rakyat kepada pemerintah putih. Regen yang tetap memiliki legitimasi kekuasaan dimata masyarakat pribumi akan mendorong kelebihan panen dengan memerintahkan rakyatnya memberikan tanah, waktu dan tenaga ekstra, yang hal ini jelas untuk memperkaya dirinya. Namun, ketika seseorang bertanya apakah masyarakat mendapatkan upah yang sepadan dengan apa yang telah mereka kerjakan, jawabannya selalu dalam konotasi negatif. 

Kedua ketika pengawas atau Asisten Residen pergi ke luar kota, maka Regen akan meminta masyarakat untuk turut mengerjakan tanah milik keluarga Adipati, tanpa upah yang memadai tentunya. Hal ini berarti masyarakat Jawa mendapati penjajahan dua lapis yang di samping oleh pemerintah putih juga dari penguasa lokal mereka. dan ketika ini semua terjadi, pemerintah kolonial tidak melakukan upaya penanganan yang berarti. Asisten Residen yang bertindak sebagai kakak pengawas pun sering kali kesulitan menjalankan fungsi-fungsinya. Selain itu, pemerintah kolonial semakin melanggengkan penjajahan berlapis ini melalui optimisme palsu dalam pelaporan-pelaporan yang selalu menunjukkan bahwa segalanya berjalan seperti biasa dan di negeri jajahan tidak terjadi apa-apa.

Untuk semakin menyia-nyiakan waktu para pembaca, ijinkan saya merekomendasikan buku ini kepada mereka elit-elit penguasa, kepada tuan-tuan dalam pemerintahan bersama jajarannya, serta sehubung dengan tahun politik: kepada mereka calon-calon pemegang kekuasaan.

Kembali lagi pembaca, meski saya telah menghabiskan Max Havelaar sebanyak dua kali dan telah membaca 20 bab dalam tulisan tersebut sebanyak dua kali pula, salah satu hal menarik yang saya soroti justru berada di bab 5. Pengalaman saya saat membaca bab 5 untuk pertama kalinya hampir setahun yang lalu kemudian melatar belakangi tulisan sedikit rusak ini. Ketika itu saya sedang membaca sembari minum kopi di tengah keheningan malam bersama seorang teman asal Jawa Timur, sebut saja Mas Lugas. Malam itu, pemilik kedai kopi bernama Mas Adi yang juga berasal dari Jawa Timur turut menemani kami.

Dalam momen-momen itu, pembaca akan dikejutkan dengan sebuah uraian tentang budaya masyarakat Jawa yang "terlalu baik" turut melanggengkan penjajahan berlapis yang terjadi. Bahwa masyarakat tidak pernah keberatan ketika Regen memerlukan bantuan (bahkan mereka melakukannya dengan bangga); bahwa masyarakat dengan senang hati menghadiahi Regen yang lebih kaya dengan berbagai oleh-oleh ketika mengunjungi kediaman-nya; serta masyarakat senantiasa merasa malu ketika mendapati halaman depan kediaman Regen yang menjadi alun-alun Kota terlihat kotor, sehingga mereka dengan senang hati membersihkannya tanpa diminta. 

Uraian itu menyebabkan saya dengan spontan bertanya kepada Mas Lugas, "apakah ini masih terjadi sekarang?' dirinya berkata "sudah tidak ada di lingkungan keraton, tetapi masih berlaku kepada pejabat pemerintahan setingkat lurah", "saya juga baru ngeh tentang apa yang kami lakukan selama ini" tambahnya. Pernyataan Mas Lugas didukung oleh Mas Adi yang mengkonfirmasi hal itu juga terjadi di daerahnya. Dirinya menjelaskan bahwa para pemuda dalam tubuh Karang Taruna akan dengan senang hati membersihkan halaman depan rumah Lurahnya tanpa di minta.

Percakapan kecil tadi membangunkan ingatan saya, tentang apa yang saya temukan dalam roman Bumi Manusia. Sebagai bagian pertama dari Tetralogi Pulau Buru karya penulis favorit saya Pramoedya Ananta Toer. Dalam roman yang berlatar pada akhir periode 1800an itu saya mendapati tokoh Minke sebagai pribumi terpelajar lulusan HBS acap kali mengeluhkan penindasan yang dilakukan Regen sekaligus ayahnya. Tentang penghinaan-penghinaan feodal; tentang norma-norma menindas; tentang dirinya sebagai orang terpelajar tetap wajib bersimpuh dan menyembah kepada mereka yang bahkan tidak berpendidikan; serta tentang perasaan dendam bahwa dirinya tidak akan mewariskan tradisi tersebut kepada anak cucunya, diiringi keinginan untuk menjadi manusia bebas yang tidak memerintah dan tidak diperintah. Hal ini juga sejalan dengan salah satu fenomena yang terjadi pada era pergerakan nasional, dalam hal ini beberapa priyayi dan keturunan keraton menghapus gelar bangsawan mereka dan memilih berbaur dengan masyarakat biasa.

Beberapa hiruk piruk di atas menyebabkan kepala ini pelan-pelan mengeluarkan hipotesa dangkalnya. Fakta historis dalam Max Havelaar jika dikomparasikan dengan roman Bumi Manusia karya Pram dapat sedikit menjawab pertanyaan-pertanyan berkenaan dengan mengapa wajah Jawa hilang. 

Hal ini erat kaitannya dengan upaya-upaya golongan priyayi revolusioner untuk terbebas dari belenggu feodalisme tradisional dalam rangka menghapus penjajahan dan penindasan oleh mereka yang sebenarnya saudara kita sendiri. Namun, sangat disayangkan ketika mentalitas yang ingin dibersihkan ternyata hingga kini masih bertahan, sementara itu wajah Jawa justru yang menghilang. Masyarakat sudah mulai meninggalkan konsep rumah tradisional, melupakan tarian dan gamelan, hingga kurangnya minat akan pakaian tradisional. Barangkali hal ini turut dipengaruhi oleh jiwa zaman. Sebagai apa yang dikenal dengan modernitas.

Namun demikian para pembaca, hipotesa kali ini agaknya terlalu dangkal. Sebagai tindak lanjut, barang kali saya harus melanjutkan seri kedua Tetralogi Pulau Buru sekaligus lanjutan dari roman Bumi Manusia yakni buku Anak Semua Bangsa yang sangat langka, sebagai karya lanjutan yang menjelaskan kondisi masyarakat pada periode pergerakan. Saya juga memerlukan bacaan pembanding yang lebih ilmiah tentang dinamika sosial masyarakat Jawa tentunya. 

Namun, sementara hal itu belum berjalan dan pembaca dipaksa berpikir dan dibiarkan dalam kondisi mengambang, kepala ini kembali mengeluarkan pertanyaannya. Bagaimana dengan Bali? Bagaimana kondisi masyarakat Bali jika sistem sosial yang kini berjalan tiba-tiba tergantikan? Bagaimana jika feodalisme dalam masyarakat Bali di hilangkan? Akankah wajah Bali turut hilang? Bukankah feodalisme membantu mempertahankan budaya kita? Bukankah sistem kasta juga memiliki pengaruh positif terhadap kehidupan sosial serta budaya? dan sebagai kata terakhir, Terimakasih!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun