Dalam momen-momen itu, pembaca akan dikejutkan dengan sebuah uraian tentang budaya masyarakat Jawa yang "terlalu baik" turut melanggengkan penjajahan berlapis yang terjadi. Bahwa masyarakat tidak pernah keberatan ketika Regen memerlukan bantuan (bahkan mereka melakukannya dengan bangga); bahwa masyarakat dengan senang hati menghadiahi Regen yang lebih kaya dengan berbagai oleh-oleh ketika mengunjungi kediaman-nya; serta masyarakat senantiasa merasa malu ketika mendapati halaman depan kediaman Regen yang menjadi alun-alun Kota terlihat kotor, sehingga mereka dengan senang hati membersihkannya tanpa diminta.Â
Uraian itu menyebabkan saya dengan spontan bertanya kepada Mas Lugas, "apakah ini masih terjadi sekarang?' dirinya berkata "sudah tidak ada di lingkungan keraton, tetapi masih berlaku kepada pejabat pemerintahan setingkat lurah", "saya juga baru ngeh tentang apa yang kami lakukan selama ini" tambahnya. Pernyataan Mas Lugas didukung oleh Mas Adi yang mengkonfirmasi hal itu juga terjadi di daerahnya. Dirinya menjelaskan bahwa para pemuda dalam tubuh Karang Taruna akan dengan senang hati membersihkan halaman depan rumah Lurahnya tanpa di minta.
Percakapan kecil tadi membangunkan ingatan saya, tentang apa yang saya temukan dalam roman Bumi Manusia. Sebagai bagian pertama dari Tetralogi Pulau Buru karya penulis favorit saya Pramoedya Ananta Toer. Dalam roman yang berlatar pada akhir periode 1800an itu saya mendapati tokoh Minke sebagai pribumi terpelajar lulusan HBS acap kali mengeluhkan penindasan yang dilakukan Regen sekaligus ayahnya. Tentang penghinaan-penghinaan feodal; tentang norma-norma menindas; tentang dirinya sebagai orang terpelajar tetap wajib bersimpuh dan menyembah kepada mereka yang bahkan tidak berpendidikan; serta tentang perasaan dendam bahwa dirinya tidak akan mewariskan tradisi tersebut kepada anak cucunya, diiringi keinginan untuk menjadi manusia bebas yang tidak memerintah dan tidak diperintah. Hal ini juga sejalan dengan salah satu fenomena yang terjadi pada era pergerakan nasional, dalam hal ini beberapa priyayi dan keturunan keraton menghapus gelar bangsawan mereka dan memilih berbaur dengan masyarakat biasa.
Beberapa hiruk piruk di atas menyebabkan kepala ini pelan-pelan mengeluarkan hipotesa dangkalnya. Fakta historis dalam Max Havelaar jika dikomparasikan dengan roman Bumi Manusia karya Pram dapat sedikit menjawab pertanyaan-pertanyan berkenaan dengan mengapa wajah Jawa hilang.Â
Hal ini erat kaitannya dengan upaya-upaya golongan priyayi revolusioner untuk terbebas dari belenggu feodalisme tradisional dalam rangka menghapus penjajahan dan penindasan oleh mereka yang sebenarnya saudara kita sendiri. Namun, sangat disayangkan ketika mentalitas yang ingin dibersihkan ternyata hingga kini masih bertahan, sementara itu wajah Jawa justru yang menghilang. Masyarakat sudah mulai meninggalkan konsep rumah tradisional, melupakan tarian dan gamelan, hingga kurangnya minat akan pakaian tradisional. Barangkali hal ini turut dipengaruhi oleh jiwa zaman. Sebagai apa yang dikenal dengan modernitas.
Namun demikian para pembaca, hipotesa kali ini agaknya terlalu dangkal. Sebagai tindak lanjut, barang kali saya harus melanjutkan seri kedua Tetralogi Pulau Buru sekaligus lanjutan dari roman Bumi Manusia yakni buku Anak Semua Bangsa yang sangat langka, sebagai karya lanjutan yang menjelaskan kondisi masyarakat pada periode pergerakan. Saya juga memerlukan bacaan pembanding yang lebih ilmiah tentang dinamika sosial masyarakat Jawa tentunya.Â
Namun, sementara hal itu belum berjalan dan pembaca dipaksa berpikir dan dibiarkan dalam kondisi mengambang, kepala ini kembali mengeluarkan pertanyaannya. Bagaimana dengan Bali? Bagaimana kondisi masyarakat Bali jika sistem sosial yang kini berjalan tiba-tiba tergantikan? Bagaimana jika feodalisme dalam masyarakat Bali di hilangkan? Akankah wajah Bali turut hilang? Bukankah feodalisme membantu mempertahankan budaya kita? Bukankah sistem kasta juga memiliki pengaruh positif terhadap kehidupan sosial serta budaya? dan sebagai kata terakhir, Terimakasih!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H