Pendidikan adalah fondasi penting bagi peradaban manusia. Namun, di era digital yang semakin hiperaktif, pendidikan menghadapi tantangan besar. Substansi pendidikan yang selama ini dianggap sakral dan membangun karakter individu, kini tergeser oleh informasi instan yang dapat diakses hanya dengan satu klik. Media sosial, mesin pencari, hingga kecerdasan buatan (AI) menjadi "guru baru" bagi masyarakat, meskipun sering kali mereka hanya menyediakan pengetahuan superfisial yang tidak terfilter.
Ketika semua orang merasa bisa menjadi "ahli" hanya dengan membaca artikel pendek atau video viral, substansi pendidikan mulai kehilangan kedalamannya. Informasi yang disajikan di ruang digital sering kali tidak diverifikasi kebenarannya. Di sinilah hoaks dan narasi palsu mengambil alih. Tanpa kemampuan berpikir kritis, masyarakat terjebak dalam bias konfirmasi, percaya pada apa yang sesuai dengan pandangan mereka tanpa mengecek keaslian informasi tersebut.Fenomena ini diperparah oleh peran media yang mendominasi arus informasi. Media digital memiliki kekuatan besar untuk menentukan isu apa yang layak diperhatikan dan apa yang bisa diabaikan. Berita dapat dibuat viral atau justru "dibungkam" tergantung pada kepentingan tertentu. Algoritma platform digital sering kali mendukung tren ini, memperkuat polarisasi informasi berdasarkan preferensi pengguna.
Pendidikan semestinya menjadi alat untuk memberdayakan individu menghadapi kenyataan ini. Namun, dalam banyak kasus, sistem pendidikan malah tertinggal dari perkembangan zaman. Kurikulum sering kali tidak memberikan bekal literasi digital yang memadai, sehingga siswa dan mahasiswa tidak siap menghadapi banjir informasi di internet. Alih-alih menjadi kritis, banyak dari mereka menjadi pasif dan mengikuti arus tanpa pemahaman mendalam.
Dari perspektif kekuasaan, era digital juga membawa dinamika baru. Pemerintah dan tokoh publik kini berada di bawah sorotan tajam masyarakat yang dipersenjatai oleh media sosial. Jejak digital membuat semua langkah mereka mudah dilacak, bahkan dimanipulasi. Skandal politik, kebijakan kontroversial, atau sekadar rumor dapat menyebar dengan cepat dan menjadi bumerang yang menggulingkan kekuasaan.
Namun, kekuasaan juga menggunakan ruang digital untuk memperkuat kendali. Pemerintah, perusahaan teknologi, dan kelompok kepentingan tertentu memanfaatkan big data untuk membentuk opini publik. Ketika informasi dikendalikan oleh segelintir pihak, masyarakat sering kali tidak menyadari bahwa mereka sedang dimanipulasi. Ini adalah ironi besar dari kebebasan informasi di era digital.
Maka, peran pendidikan tidak lagi sekadar mengajarkan pengetahuan akademik, tetapi juga membangun kemampuan literasi digital yang tangguh. Pendidikan harus menjadi benteng yang melindungi individu dari serangan hoaks dan manipulasi informasi. Kemampuan untuk menganalisis, memverifikasi, dan berpikir kritis harus menjadi bagian integral dari kurikulum.
Selain itu, kolaborasi antara pendidikan dan media sangat penting. Media harus berkomitmen pada penyajian informasi yang akurat, sementara institusi pendidikan perlu mengajarkan bagaimana cara mengonsumsi informasi secara cerdas. Dalam dunia yang dipenuhi oleh hiperrealitas, kebenaran perlu dijaga dengan pendekatan kolaboratif ini.
Era digital adalah peluang sekaligus ancaman. Di satu sisi, ia membuka akses informasi yang tidak terbatas, tetapi di sisi lain, ia dapat menjerumuskan masyarakat ke dalam jurang kebingungan. Pendidikan harus mengambil peran sentral dalam menjaga keseimbangan ini, membekali individu dengan kemampuan untuk membedakan antara fakta dan ilusi.
Kekuasaan, baik itu dalam bentuk pemerintahan, institusi pendidikan, maupun media, harus menyadari tanggung jawabnya dalam membangun masyarakat yang cerdas secara digital. Dengan demikian, era digital bukan lagi menjadi ancaman, melainkan peluang untuk menciptakan dunia yang lebih terbuka, transparan, dan adil.
Era hiper digital telah melahirkan fenomena seperti jam koma dan brain rot, yang menjadi tanda betapa kuatnya cengkeraman dunia digital terhadap pikiran manusia. Jam koma merujuk pada kondisi di mana seseorang menghabiskan waktu berjam-jam menatap layar tanpa menyadari waktu yang berlalu, baik untuk menggulir media sosial, bermain gim daring, atau menonton video. Sementara itu, brain rot menggambarkan efek jangka panjang dari konsumsi konten yang dangkal dan repetitif, yang mengurangi kemampuan seseorang untuk fokus dan berpikir kritis. Kedua fenomena ini tidak hanya memengaruhi individu secara mental, tetapi juga membentuk pola pendidikan dan pola pikir masyarakat secara keseluruhan.
Kondisi ini diperburuk dengan kemudahan akses informasi yang serba instan. Konten seperti video berdurasi pendek yang dikemas secara menarik membuat otak terbiasa mencari hiburan cepat dan kehilangan minat pada pembelajaran yang mendalam. Generasi muda, khususnya, menjadi lebih sulit berkonsentrasi pada bacaan panjang atau analisis kompleks. Akibatnya, mereka cenderung hanya mengonsumsi informasi permukaan tanpa memahami konteksnya, yang kemudian memengaruhi cara mereka menyikapi isu-isu penting di dunia nyata.