Mohon tunggu...
I Dw Ayu Eka Purba Dharma Tari
I Dw Ayu Eka Purba Dharma Tari Mohon Tunggu... Dosen - Mahasiswa Program Doktoral Universitas Pendidikan Ganesha

Dosen Prodi Bimbingan&Konseling Universitas PGRI Mahadewa Indonesia Psikolog

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Antara Kekuasaan&Kepalsuan: Pendidikan Era Digital yang Membingungkan

19 Desember 2024   14:12 Diperbarui: 19 Desember 2024   14:12 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pembelajaran di Kelas. Sumber : Dok.Pribadi

Pendidikan adalah fondasi penting bagi peradaban manusia. Namun, di era digital yang semakin hiperaktif, pendidikan menghadapi tantangan besar. Substansi pendidikan yang selama ini dianggap sakral dan membangun karakter individu, kini tergeser oleh informasi instan yang dapat diakses hanya dengan satu klik. Media sosial, mesin pencari, hingga kecerdasan buatan (AI) menjadi "guru baru" bagi masyarakat, meskipun sering kali mereka hanya menyediakan pengetahuan superfisial yang tidak terfilter.

Ketika semua orang merasa bisa menjadi "ahli" hanya dengan membaca artikel pendek atau video viral, substansi pendidikan mulai kehilangan kedalamannya. Informasi yang disajikan di ruang digital sering kali tidak diverifikasi kebenarannya. Di sinilah hoaks dan narasi palsu mengambil alih. Tanpa kemampuan berpikir kritis, masyarakat terjebak dalam bias konfirmasi, percaya pada apa yang sesuai dengan pandangan mereka tanpa mengecek keaslian informasi tersebut.Fenomena ini diperparah oleh peran media yang mendominasi arus informasi. Media digital memiliki kekuatan besar untuk menentukan isu apa yang layak diperhatikan dan apa yang bisa diabaikan. Berita dapat dibuat viral atau justru "dibungkam" tergantung pada kepentingan tertentu. Algoritma platform digital sering kali mendukung tren ini, memperkuat polarisasi informasi berdasarkan preferensi pengguna.

Pendidikan semestinya menjadi alat untuk memberdayakan individu menghadapi kenyataan ini. Namun, dalam banyak kasus, sistem pendidikan malah tertinggal dari perkembangan zaman. Kurikulum sering kali tidak memberikan bekal literasi digital yang memadai, sehingga siswa dan mahasiswa tidak siap menghadapi banjir informasi di internet. Alih-alih menjadi kritis, banyak dari mereka menjadi pasif dan mengikuti arus tanpa pemahaman mendalam.

Dari perspektif kekuasaan, era digital juga membawa dinamika baru. Pemerintah dan tokoh publik kini berada di bawah sorotan tajam masyarakat yang dipersenjatai oleh media sosial. Jejak digital membuat semua langkah mereka mudah dilacak, bahkan dimanipulasi. Skandal politik, kebijakan kontroversial, atau sekadar rumor dapat menyebar dengan cepat dan menjadi bumerang yang menggulingkan kekuasaan.

Namun, kekuasaan juga menggunakan ruang digital untuk memperkuat kendali. Pemerintah, perusahaan teknologi, dan kelompok kepentingan tertentu memanfaatkan big data untuk membentuk opini publik. Ketika informasi dikendalikan oleh segelintir pihak, masyarakat sering kali tidak menyadari bahwa mereka sedang dimanipulasi. Ini adalah ironi besar dari kebebasan informasi di era digital.

Maka, peran pendidikan tidak lagi sekadar mengajarkan pengetahuan akademik, tetapi juga membangun kemampuan literasi digital yang tangguh. Pendidikan harus menjadi benteng yang melindungi individu dari serangan hoaks dan manipulasi informasi. Kemampuan untuk menganalisis, memverifikasi, dan berpikir kritis harus menjadi bagian integral dari kurikulum.

Selain itu, kolaborasi antara pendidikan dan media sangat penting. Media harus berkomitmen pada penyajian informasi yang akurat, sementara institusi pendidikan perlu mengajarkan bagaimana cara mengonsumsi informasi secara cerdas. Dalam dunia yang dipenuhi oleh hiperrealitas, kebenaran perlu dijaga dengan pendekatan kolaboratif ini.

Era digital adalah peluang sekaligus ancaman. Di satu sisi, ia membuka akses informasi yang tidak terbatas, tetapi di sisi lain, ia dapat menjerumuskan masyarakat ke dalam jurang kebingungan. Pendidikan harus mengambil peran sentral dalam menjaga keseimbangan ini, membekali individu dengan kemampuan untuk membedakan antara fakta dan ilusi.

Kekuasaan, baik itu dalam bentuk pemerintahan, institusi pendidikan, maupun media, harus menyadari tanggung jawabnya dalam membangun masyarakat yang cerdas secara digital. Dengan demikian, era digital bukan lagi menjadi ancaman, melainkan peluang untuk menciptakan dunia yang lebih terbuka, transparan, dan adil.

Era hiper digital telah melahirkan fenomena seperti jam koma dan brain rot, yang menjadi tanda betapa kuatnya cengkeraman dunia digital terhadap pikiran manusia. Jam koma merujuk pada kondisi di mana seseorang menghabiskan waktu berjam-jam menatap layar tanpa menyadari waktu yang berlalu, baik untuk menggulir media sosial, bermain gim daring, atau menonton video. Sementara itu, brain rot menggambarkan efek jangka panjang dari konsumsi konten yang dangkal dan repetitif, yang mengurangi kemampuan seseorang untuk fokus dan berpikir kritis. Kedua fenomena ini tidak hanya memengaruhi individu secara mental, tetapi juga membentuk pola pendidikan dan pola pikir masyarakat secara keseluruhan.

Kondisi ini diperburuk dengan kemudahan akses informasi yang serba instan. Konten seperti video berdurasi pendek yang dikemas secara menarik membuat otak terbiasa mencari hiburan cepat dan kehilangan minat pada pembelajaran yang mendalam. Generasi muda, khususnya, menjadi lebih sulit berkonsentrasi pada bacaan panjang atau analisis kompleks. Akibatnya, mereka cenderung hanya mengonsumsi informasi permukaan tanpa memahami konteksnya, yang kemudian memengaruhi cara mereka menyikapi isu-isu penting di dunia nyata.

Fenomena ini tidak bisa dianggap remeh. Ketergantungan pada dunia digital tidak hanya menciptakan pola konsumsi informasi yang dangkal, tetapi juga membentuk masyarakat yang mudah terpengaruh oleh hoaks, propaganda, dan manipulasi digital. Hal ini membuat peran pendidikan semakin mendesak untuk memberikan fondasi literasi digital yang kuat agar individu mampu menghadapi tantangan era hiper digital ini.

Di kehidupan sehari-hari, kita dapat melihat dampak dari lemahnya literasi digital pada berbagai lapisan masyarakat. Misalnya, ketika berita palsu tentang kesehatan, seperti klaim bahwa "air kelapa bisa menyembuhkan COVID-19," menyebar luas melalui media sosial. Tanpa kemampuan untuk memverifikasi informasi ini, banyak orang mempercayai klaim tersebut dan bahkan menyebarkannya lebih jauh. Akibatnya, bukan hanya kebingungan yang terjadi, tetapi juga ancaman nyata terhadap kesehatan masyarakat.

Pembelajaran Online.Sumber : Dok Pribadi
Pembelajaran Online.Sumber : Dok Pribadi

Di dunia pendidikan, banyak siswa yang lebih percaya pada jawaban dari mesin pencari dibandingkan buku teks atau penjelasan guru mereka. Ketergantungan pada teknologi ini sering kali membuat siswa kehilangan kemampuan untuk berpikir kritis dan analitis. Contoh lainnya adalah siswa yang mengandalkan kecerdasan buatan (AI) untuk menyelesaikan tugas sekolah tanpa benar-benar memahami materi yang dipelajari. Dalam jangka panjang, ini bisa menciptakan generasi yang hanya mahir mengakses informasi, tetapi tidak tahu bagaimana memanfaatkan atau menganalisisnya secara bijak.

Kekuatan digital juga terasa dalam politik. Salah satu contoh nyata adalah fenomena cancel culture, di mana seorang tokoh publik dapat dihancurkan reputasinya hanya karena sebuah video atau pernyataan yang viral. Kasus ini sering kali terjadi tanpa konteks yang jelas dan dipengaruhi oleh opini yang dibentuk secara emosional di media sosial. Di sisi lain, pemerintah juga memanfaatkan algoritma digital untuk membangun narasi yang menguntungkan mereka, seperti dengan membayar buzzer untuk menyebarkan propaganda.

Namun, tidak semua dampak digital bersifat negatif. Ketika digunakan dengan benar, teknologi dapat menjadi alat yang luar biasa untuk pendidikan dan perubahan sosial. Sebagai contoh, selama pandemi COVID-19, platform pembelajaran daring seperti Zoom, Google Classroom, atau Coursera membantu jutaan siswa tetap belajar meskipun sekolah tutup. Namun, ini menunjukkan lagi ketimpangan yang ada: siswa dari keluarga miskin yang tidak memiliki akses internet tertinggal jauh dari teman-temannya yang lebih mampu.

Dalam bidang politik, jejak digital juga membuka peluang untuk meningkatkan transparansi. Sebagai contoh, pengawasan publik terhadap kebijakan pemerintah sering kali menghasilkan kritik yang konstruktif dan mendorong akuntabilitas. Namun, hal ini juga bisa menjadi senjata bermata dua jika kritik tersebut hanya didasarkan pada rumor atau hoaks yang belum diverifikasi.

Untuk menghadapi realitas ini, ada beberapa langkah konkret yang dapat dilakukan:

1. Penguatan Literasi Digital: Masyarakat perlu dididik tentang cara memverifikasi informasi dan memahami bagaimana algoritma media sosial bekerja. Ini bisa dimulai dari sekolah, dengan memasukkan kurikulum literasi digital.

2. Kerjasama Pendidikan dan Media: Institusi pendidikan perlu bekerja sama dengan media untuk mempromosikan konten yang kredibel. Misalnya, pelatihan bagi siswa tentang bagaimana membedakan berita asli dan palsu.

3. Pengaturan yang Adil dalam Digitalisasi: Pemerintah dan perusahaan teknologi harus memastikan bahwa teknologi tidak digunakan untuk memanipulasi masyarakat. Penggunaan big data harus diawasi dengan ketat agar transparan dan etis.

Contoh nyata lainnya adalah perkembangan "deepfake," sebuah teknologi yang memungkinkan manipulasi video dan audio sehingga tampak nyata. Di Indonesia, pernah terjadi video deepfake yang menampilkan seorang tokoh publik dengan narasi yang sangat provokatif. Meski belakangan terbukti palsu, kerusakan yang diakibatkannya terhadap reputasi tokoh tersebut sudah terlanjur besar.

Pada akhirnya, dunia digital adalah cermin dari siapa kita sebagai masyarakat. Jika kita membiarkan diri tenggelam dalam kepalsuan, maka pendidikan dan kekuasaan akan kehilangan esensi sejatinya. Sebaliknya, jika kita memanfaatkannya dengan bijak, era digital dapat menjadi sarana untuk memperluas wawasan, membangun pemikiran kritis, dan menciptakan masyarakat yang lebih cerdas dan adil.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun