Wajah baru dunia pendidikan Indonesia ditandai dengan banyaknya perubahan terkait kebijakan, manajemen sampai teknis oprasional di lapangan. Menuju Indonesia Emas merupakan tujuan dari semua proses perubahan yang berdampak. Tentu, peran dosen bukan hanya sebagai pengajar, tetapi juga sebagai penggerak utama dalam mengembangkan kualitas generasi penerus bangsa.Bukan hanya memberikan transfer knowledge tapi juga transfer value
Berbicara peran tentu berafiliasi terhadap tugas sebagai Dosen untuk melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi yang terdiri dari pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.Â
Namun, dalam tekanan tuntutan akademik dan sosial yang tinggi, tidak jarang para dosen mengalami ketegangan yang berdampak pada kesehatan mental mereka. Salah satu fenomena yang mulai banyak dibicarakan adalah konsep orgasme kognitif, yang dapat mengungkap dinamika kompleks antara tuntutan Tri Dharma, kualitas hidup, dan kesejahteraan psikologis dosen.
Orgasme Kognitif: Apa Itu?
Istilah orgasme kognitif mungkin terdengar asing, namun sebenarnya ini adalah sebuah fenomena tentang pengalaman puncak dalam pemrosesan informasi yang melibatkan rasa euforia atau kepuasan intelektual.Â
Sama seperti orgasme yang dirasakan secara fisik, orgasme kognitif memberikan rasa puas yang mendalam ketika seseorang berhasil memecahkan masalah kompleks, menemukan problem solving inovatif, atau mencapai pemahaman mendalam tentang suatu topik.Â
Fenomena ini menggambarkan suatu bentuk kepuasan mental yang bersifat intrinsik, di mana seseorang merasa terstimulasi dan diberdayakan oleh pengetahuan yang diperoleh.
Bagi dosen, orgasme kognitif ini bisa datang dari proses mengajar yang penuh tantangan, penelitiannya yang mengarah pada penemuan baru, atau ketika mereka berhasil mentransfer ilmu yang bermanfaat kepada mahasiswa. Namun, meskipun banyak dosen yang merasakan kepuasan intelektual dalam menjalankan tugasnya, fenomena ini sering kali harus bertarung dengan tuntutan eksternal yang tidak kalah besar.
Tuntutan Tri Dharma Perguruan Tinggi: Beban atau Peluang?
Tuntutan Tri Dharma Perguruan Tinggi pendidikan, penelitian, dan pengabdian Masyarakat memang merupakan pilar utama dalam dunia akademik.Â
Dosen sebagai penggerak utama dari ketiga aspek ini, sering kali harus membagi waktunya antara mengajar di kelas, melakukan penelitian, serta terlibat dalam berbagai program pengabdian masyarakat. Meskipun ini adalah bagian dari tugas mereka, beban yang dihadapi tidak jarang melebihi kapasitas yang ada.
Bagi dosen muda yang baru memulai karier akademiknya, tuntutan ini bisa menjadi beban mental yang berat. Mereka harus menciptakan keseimbangan antara pekerjaan di kelas dan di luar kelas, dengan menyeimbangkan tuntutan administratif, hubungan dengan mahasiswa, serta pencapaian akademik seperti publikasi jurnal dan penelitian.Â
Sementara itu, dosen senior sering kali terjebak dalam rutinitas yang semakin menumpuk dengan semakin banyaknya tanggung jawab di luar tugas mengajar, termasuk menjadi pemimpin di berbagai organisasi akademik atau terlibat dalam pengembangan kurikulum.
Selain itu, di tengah tuntutan untuk menghasilkan riset berkualitas dan berkontribusi pada masyarakat, banyak dosen yang merasa cemas dan tertekan. Mereka juga harus memenuhi ekspektasi dari rekan sejawat, pimpinan, dan masyarakat tentang kinerja mereka. Tuntutan ini sering kali tidak diimbangi dengan dukungan yang memadai, sehingga berpotensi menurunkan kualitas hidup dan kesehatan mental dosen.
Kesehatan Mental Dosen: Ketegangan Antara Pencapaian dan Stres
Kesehatan mental menjadi salah satu isu penting yang semakin mendapat perhatian di dunia pendidikan Indonesia. Meskipun tidak banyak yang berbicara terbuka tentang masalah ini, banyak dosen yang menghadapi tantangan psikologis yang serius, seperti stres, kecemasan, burnout, bahkan depresi.Â
Penelitian menunjukkan bahwa dosen yang memiliki banyak beban akademik sering kali merasa terjebak dalam siklus tekanan yang tidak berujung, yang akhirnya berdampak pada kualitas hidup mereka.
Dalam konteks ini, orgasme kognitif bisa menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, rasa kepuasan yang datang dari pencapaian intelektual bisa memberikan dorongan motivasi yang kuat bagi dosen untuk terus berprestasi.Â
Namun, ketika orgasme kognitif ini terhambat oleh tuntutan eksternal yang berlebihan, atau ketika pencapaian intelektual tidak diimbangi dengan perawatan kesehatan mental yang baik, fenomena ini bisa berubah menjadi beban yang menambah tingkat stres.
Menjaga Keseimbangan: Solusi untuk Kesehatan Mental Dosen
Penting bagi institusi pendidikan untuk mulai memperhatikan kesejahteraan mental dosen dengan lebih serius. Salah satu langkah awal yang dapat diambil adalah dengan memberikan dukungan yang lebih konkret dalam hal pengelolaan beban kerja.Â
Penyusunan beban kerja yang lebih realistis, pengakuan terhadap pencapaian dosen dalam bidang penelitian dan pengabdian, serta memberikan waktu yang cukup untuk mereka beristirahat dan merawat diri adalah langkah-langkah yang dapat membantu mengurangi stres.
Selain itu, pendidikan tentang kesehatan mental bagi dosen juga sangat penting. Pelatihan mengenai cara-cara untuk mengelola stres, mindfulness, serta cara mengembangkan budaya kerja yang lebih inklusif dan suportif dapat membantu dosen untuk menjaga keseimbangan antara kehidupan profesional dan pribadi mereka.Â
Program konseling dan dukungan psikologis di kampus juga perlu diperkuat agar dosen merasa lebih dihargai dan didukung dalam menghadapi tantangan-tantangan yang ada.
Pendidikan Indonesia di Masa Depan: Menciptakan Dosen yang Sehat Secara Mental
Pendidikan Indonesia perlu bertransformasi menjadi lebih dari sekadar tempat untuk mentransfer ilmu. Untuk itu, perhatian terhadap kesejahteraan dosen harus menjadi prioritas. Dosen yang sehat secara mental, yang merasa dihargai, dan didukung oleh institusi akan dapat memberikan dampak yang lebih besar bagi mahasiswa dan pendidikan itu sendiri.
Melalui pendekatan yang lebih holistik, di mana keseimbangan antara pengajaran, penelitian, pengabdian masyarakat, dan kesehatan mental dijaga dengan baik, kita dapat menciptakan dosen-dosen yang lebih produktif, kreatif, dan bahagia. Dengan demikian, mereka tidak hanya mampu memberikan orgasme kognitif bagi diri mereka sendiri, tetapi juga dapat menciptakan pengalaman serupa bagi mahasiswa dan masyarakat luas.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI