Mohon tunggu...
Edi Swastawan
Edi Swastawan Mohon Tunggu... Petani - Pelajar Agribisnis

Selalu penasaran pada Kopi dan Jeruk Kintamani

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Subak-abian adalah Miniatur Konsepsi Sebuah Bangsa

31 Mei 2021   14:49 Diperbarui: 6 Juni 2021   06:35 1185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Monumen Subak-abian Wanasari Kenjung (dokumen pribadi)

Subak-abian secara konseptual dianggap lebih lemah jika dibandingkan dengan subak. Salah satu alasannya adalah faktor pengikat. 

Subak-abian dianggap tidak memiliki faktor pengikat kuat.  Sementara subak, faktor pengikatnya nyata secara fisik, yaitu air irigasi. Faktanya dalil itu keliru, karena subak-abian juga memiliki faktor pengikat fundamental. Pengikat subak-abian adalah soal rasa, keinginan, dan kemauan untuk bersatu.  Subak-abian sejatinya ialah miniatur konsepsi sebuah bangsa.

Bung Karno pada tulisannya berjudul Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme yang dimuat dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi jilid I membahas konsep dan makna sebuah bangsa. 

Bung karno membuka pendapatnya, persoalan bangsa bukanlah soal batas-batas negeri. Artinya persoalan bangsa bukanlah persoalan geografis, bukanlah persoalan fisik! 

Bangsa adalah persoalan riwayat, manusia-manusia dalam sebuah bangsa dulunya harus bersama-sama menjalani suatu riwayat. Selanjutnya, manusia-manusia itu harus memiliki kemauan dan keinginan hidup menjadi satu.

Begitulah subak-abian, yang mengikatnya ialah soal rasa, soal riwayat, serta soal keinginan dan kemauan untuk persatuan dan kesatuan. 

Memang benar, landasan riwayat krama (anggota) subak-abian adalah palemahan (hubungan antara manusia dengan lingkungannya). Namun lingkungan yang dimaksud adalah wilayah yang ada dalam satu sistem sosial, atau suatu sistem masyarakat adat. Jadi kembali lagi, soal wilayah pun di subak-abian adalah soal satu kesatuan rasa dan satu sepenanggungan di wilayah itu.

Semua soal persaudaraan, dan saudara tidak hanya soal biologis, namun juga soal historis dan soal ideologis. 

Jika seperti yang dijelaskan pada pengikat subak, yaitu air irigasi. Air kemungkinan bisa dicuri, bisa dibeli, bahkan bisa digali. Pada subak-abian, yaitu soal rasa, tidak ada yang bisa mencuri dan tidak ada yang bisa membeli nilai dari sebuah histori.

Ketika ada krama subak sudah tidak membutuhkan air (misalnya berhenti menanam padi) cenderung tidak memiliki kepentingan lagi pada subak. Pada fase ini akan ada pergeseran mental, yaitu keterikatannya pada subak akan lemah. 

Sementara subak-abian tidak demikian, karena memiliki satu kesepakatan riwayat, dan tidak ada ikatan-ikatan lain yang bentuknya material/fisik. 

Yang ingin disampaikan disini, memang benar air irigasi bisa dijadikan faktor pengikat pada subak, namun bukan berarti subak-abian tidak memiliki pengikat kuat. Faktanya, sampai sekarang subak-abian masih tetap eksis (survive) sebagai sebuah organisasi sosial petani yang independen.

Kelian (ketua) Subak-abian Wanasari Kenjung, Gusti Ngurah Rupa dalam sebuah wawancara pada hari Minggu (30/5/2021) mengulas secara lebih mendalam klasifikasi kesatuan krama subak-abian sesuai dengan tri hita karana. 

Tri hita karana adalah konsepsi kasukertan (keharmonisan) hidup masyarakat Bali melalui tiga hubungan harmonis. Pertama ialah parahyangan, yaitu hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan yang Maha Esa. Kedua palemahan, yaitu hubungan harmonis antara manusia dengan lingkungannya. Terakhir pawongan, adalah hubungan harmonis antar sesama manusia.

Secara parahyangan, krama subak-abian terikat dalam satu Pura Swagina. Pura Swagina adalah tempat suci yang berdiri atas dasar kesamaan pekerjaan atau mata pencarian. 

Di subak-abian, Pura Swagina juga biasa disebut sebagai Pura Subak-abian. Pemujaan Dewa Sangkara sebagai manifestasi Tuhan penguasa segala jenis tumbuhan dilaksanakan pada Pura Swagina ini, agar produksi pertanian mampu memberikan kesejahteraan. Krama subak-abian juga memohon tirta (air suci) di Pura Swagina, dalam rangka memohon keselamatan dan dijauhkan dari sasab-merana (serangan hama penyakit tanaman).

            Pada aspek palemahan, krama subak-abian disatukan pada satu hamparan lahan dalam satu wilayah. Kembali lagi ke penjelasan di awal, kesatuan wilayah lahan subak-abian berada dalam satu kesatuan sistem sosial dan/atau satu kesatuan masyarakat adat, sehingga krama memiliki kedekatan emosional. Berbeda dengan subak, satu wilayah subak belum tentu terdiri dari satu kesatuan sistem sosial masyarakat adat.

            Keterikatan krama secara palemahan juga dapat dilihat dari hak krama subak-abian mendapatkan kenyamanan dan keamanan. Misalnya pada kasus krama yang memiliki lahan jauh dari jalan raya. Krama yang memiliki lahan di sebelahnya, atau yang lahannya memiliki akses langsung ke jalan raya, wajib memberikan akses jalan untuk krama yang lahannya terletak jauh dari jalan raya. Pada Subak-abian Wana Sari Kenjung, hak-hak krama seperti itu dilindungi oleh subak-abian melalui awig-awig (peraturan) subak-abian.

            Secara pawongan, pertama krama subak-abian telah berada di suatu sistem sosial masyarakat adat yang sama. Kedua, secara historis memiliki cerita di wilayah yang sama, sehingga kedekatan emosionalnya juga sama. Ketiga, memiliki mata pencarian yang sama. Dari ketiga itu, maka akan terbentuk riwayat yang sama, rasa yang sama, satu sepenanggunggan di wilayah dengan sistem adat yang sama, sehingga terlahir keinginan dan kemauan membentuk persatuan dan kesatuan untuk mewujudkan visi/tujuan yang sama.

            Sehingga jelas, argumen yang melemahkan subak-abian karena dianggap tidak memiliki faktor pengikat kuat sangat keliru. Sama halnya dengan konsepsi sebuah bangsa. Bahwa soal bangsa bukanlah soal fisik, melainkan soal riwayat, serta keinginan dan kemauan untuk bersatu. Jika seseorang percaya bahwa bangsa adalah konsepsi yang kuat, maka sudah selayaknya orang itu juga percaya bahwa secara internal subak-abian adalah organisasi yang sama kuatnya dengan sebuah bangsa. Sehingga yang harus dipikirkan bersama hanya satu, bagaimana caranya mengorganisir ancaman-ancaman eksternal agar subak-abian maupun subak sebagai organisasi yang bersifat sosio-agraris-religius ini bisa tetap lestari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun