Mohon tunggu...
Edi Swastawan
Edi Swastawan Mohon Tunggu... Petani - Pelajar Agribisnis

Selalu penasaran pada Kopi dan Jeruk Kintamani

Selanjutnya

Tutup

Money

Polemik Impor Beras Membingungkan, Respon Bali Malah Lebih Membingungkan

28 Maret 2021   15:32 Diperbarui: 28 Maret 2021   16:05 420
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pasca Rapat Pengurus DPC GMNI Denpasar, Selasa (23/3/2021) / dokpri

Pasca Rapat Pengurus DPC GMNI Denpasar, Selasa (23/3/2021) / dokpri
Pasca Rapat Pengurus DPC GMNI Denpasar, Selasa (23/3/2021) / dokpri
           GMNI Denpasar memaparkan pada 22 misi pembangunan Bali, poin pertama telah mencanangkan kepastian kebutuhan pangan, sandang, dan papan dalam jumlah dan kualitas yang memadai bagi kehidupan Krama Bali. Bahkan, poin kedua tegas menyatakan komitmen mewujudkan kemandirian pangan, meningkatkan nilai tambah dan daya saing pertanian, dan meningkatkan kesejahteraan petani. Sehingga jika Gubernur Bali tidak ingin menginkari apa yang sudah dicanangkan, gubernur harus tegas menolak beras impor.

            Di sisi lain, GMNI juga menegaskan bahwa berdasarkan data statistik, pasokan beras lokal Bali cukup untuk memenuhi kebutuhan. BPS memproyeksikan potensi produksi padi subround Januari-April 2021 sebesar 253.780 ton GKG. Sedangkan jika mengacu pada data BPS 2019, rata-rata konsumsi beras penduduk Bali adalah 7,24 kg/kapita/bulan. Jika asumsi nilai rendemen gabah 64,02% sesuai angka revisi BPS 2018, dengan jumlah penduduk sesuai sensus penduduk 2020 sebanyak 4,32 juta jiwa, maka potensi ketersediaan beras per kapita di Bali adalah 9,4 kg/bulan pada subround 1. Sehingga jelas Bali tidak membutuhkan beras impor.

Respon Bali

            Pasca desakan GMNI, di Bali ada dua respon tertuju pada polemik impor beras ini. Pertama dari Pemprov Bali, kedua dari Perum Bulog Kanwil Bali. Kedua instansi itu memiliki sikap yang serupa, namun dinyatakan secara terpisah. Pada dasarnya, substansi yang dimuat adalah akan mengoptimalkan penyerapan gabah lokal.

            Mengutip dari Atnews.id[6], Pemprov Bali melalui Dinas Ketahanan Pangan dan Hortikultura menyatakan menolak kemasukan beras impor. Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali, Ida Bagus Wisnuardhana menyampaikan penolakan itu sebagai implementasi Peraturan Gubernur Nomor 99 Tahun 2018 tentang Pemasaran dan Pemanfaatan Produk Pertanian, Perikanan dan Industri Lokal Bali. Secara data juga disampaikan, bahwa Bali kini sejatinya surplus beras sebanyak 123.856 ton, rata-rata surplus 100 ton per tahun. Artinya, desakan GMNI Denpasar sangat tepat!

            Sebenarnya sangat disayangkan, pada isu strategis seperti ini, Gubernur tidak berani menyatakan sikap secara langsung. Bahkan pernyataan sikap Pemprov tidak dimuat pada media-media strategis. Apakah gubernur takut dilabrak pusat? Atau sikap Pemprov hanya formalitas belaka? Tidak ada yang bisa menjawab, hanya gubernur yang tau. Sehingga, GMNI pun menyatakan belum puas pada respon Pemprov Bali tersebut[7].

            Sementara itu, Bulog menyatakan bahwa Bali tetap memprioritaskan penyerapan beras lokal[8]. Penyerapan itu tetap berdasarkan pada Permendag nomor 24/2020 tentang Penerapan Harga Pembelian Pemerintah. Walaupun sebenarnya peraturan itu sekaligus menjadi kelemahan Bulog dalam persaingan penyerapan gabah dan beras dengan pihak swasta. Berdasarkan Permendag tersebut, Bulog hanya bisa membeli GKP dengan kadar air maksimal 25% dengan harga Rp4.200 per kilogram ditingkat petani. Sementara untuk beras PSO medium, Bulog hanya bisa menyerap dengan harga Rp8.300 per kilogram.

            Sebenarnya, sikap kedua instansi itu sangat layak mendapatkan apresiasi. Akan tetapi, apakah pernyataan tersebut menyelesaikan masalah? Tentu saja belum, malah sekali lagi memunculkan kebingungan. Karena faktanya jika impor tetap dilaksanakan pertengahan atau akhir tahun ini, walaupun beras lokal diupayakan diserap maksimal, beras impor tetap akan masuk ke Bali melalui Perum Bulog. Misalnya pada realisasi tahun 2018, Bali mendapatkan jatah beras impor bahkan sebanyak 6.000 ton.

             Pada akhirnya stok beras di Bali akan menumpuk. Sesuai hukum pasar, jika penawaran meningkat maka harga akan turun. Maka saat itulah harga gabah di tingkat petani akan murah. Hal itu tidak terjadi hanya ketika Bulog tetap mau menyerap gabah petani secara maksimal dan menghitung tumpukan beras berlebih sebagai kerugian perusahaan. Namun apakah itu layak dilakukan bagi sebuah perusahaan? Tentu saja tidak.

            Lalu antara petani dan Bulog siapa yang akan dikorbankan? Dan siapa yang mengorbankan? Pertanyaan-pertanyaan itu sulit dijawab oleh siapa pun. Kecuali Pemprov Bali mampu menjaga pasokan beras Bali sebagai dasar mendesak pimpinan Bulog pusat agar Bali tidak mendapatkan jatah beras impor. Namun kembali lagi, jika itu tidak berhasil, kepada siapa masyarakat khususnya petani Bali harus mengadu? Kepada siapa harus bertanya? Hanya pada rumpun padi yang bergoyang, ditiup angin, dan dinanti "pukulan kejam" beras impor.

REFERENSI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun