Bali terpilih sebagai tuan rumah World Water Forum (WWF) pada 18 -- 25 Mei 2024. Bali menjadi tuan rumah tidak terlepas dari kebijakan-kebijakan lokal Bali yang sangat erat hubungannya dengan penyucian air. Agama masyarakat Bali adalah agama Hindu yang sangat memuliakan air. Sungai dalam agama Hindu adalah ibu dari peradaban yang senantiasa dipuja seperti halnya Ganga. Rig Veda mencatat pemujaan terhadap spirit sungai yang disebut dengan Nadi Sukta pada Mandala X Sukta 75 (Dharmiki, 2021). Shiva yang merupakan dewa tertinggi masyarakat Bali disebut sebagai Gangadara, yang mengendalikan sumber daya air, sehingga masyarakat Bali memohon air suci Ganga dari Shiva untuk menyucikan pulau Bali dan masyarakat Bali (Goudriaan dan C. Hooykaas, 2004).
Akan tetapi, tradisi pemuliaan air berhadapan dengan raksasa penghisap air yang sangat besar. Detiknews (2019) memberitakan Bali mengalami kekurangan air bersih. Penggunaan air bawah tanah terus mengalami peningkatan sehingga muka air mengalami penurunan 10 meter dalam kurang dari 10 tahun. Danau-danau juga mengalami penurunan air permukaan 3,5 -- 5 meter dalam waktu tiga tahun. Hal ini berimbas pada kualitas air yang terus mengalami penurunan karena berbagai pencemaran.
Pada kondisi seperti itu, pemerintah belum melakukan langkah optimal untuk mengatasi kebutuhan air, selain memberikan izin penggunaan Air Bawah Tanah (ABT). Bahkan dicurigai ada ribuan perusahaan yang tidak memiliki izin penggunaan ABT (Detikbali, 2023). Kondisi ini tidak dicarikan solusi dengan langkah-langkah bijak, seperti penyulingan air laut atau pengolahan air-air buangan. Kebijakan penanganan krisis air di Bali rupanya menunggu keadaan yang parah sehingga akan memerlukan biaya yang sangat besar pada suatu saat.
Pemerintah seharusnya memiliki dana untuk melakukan langkah-langkah penyelematan ini. Pajak Hotel dan Restoran (PHR) Kabupaten Badung saja mencapai Rp2 Triliyun pertahun 2022 (Bappeda Badung, 2022). PHR ini diperkirakan terus meningkat sesuai kenaikan kunjungan wisatawan pada tahun 2023 dan 2024. Dana PHR ini seharusnya disisakan untuk berinvestasi pada sektor pengolahan air bersih bagi industri pariwisata sehingga meminimalkan penggunaan ABT, tetapi hal itu belum dilakukan secara optimal.
Padahal, industri pariwisata menggunakan sumber daya air sangat besar. Penggunaan air yang besar ini telah menimbulkan pencemaran pada air bawah tanah. Penelitian di Kuta tahun 2004 menunjukkan bahwa sebagian dari air bawah tanah telah tercemar bakteri coli (Utami, 2004). Peningkatan penggunaan ABT dari tahun 2004 sampai sekarang tentu memperbesar pencemaran ini. Kecenderungan yang membesar ini belum diantisipasi secara optimal dalam rangka pemuliaan air pada masyarakat Bali modern.
Oleh karena itu, pemuliaan air hanya merupakan kebijakan masyarakat tradisional Bali yang tidak bisa diimplementasikan pada masyarakat Bali modern. Air bagi masyarakat Bali adalah amerta yang seharusnya dibagikan secara adil. Siapapun tidak boleh mengambil air di hulu sungai, dengan maksud mengurangi jatah air bagi orang-orang di hilir. Dalam keadaan perang pun, hal itu tidak boleh dilakukan apalagi pada masa damai. Akan tetapi kebijakan ini tidak bisa terwujud dalam masyarakat Bali modern. Pemerintah membiarkan penggunaan ABT yang terus meningkat tanpa usaha-usaha yang sangat serius untuk menanggulanginya.
Pada lima tahun ini, masyarakat Bali disuguhi berbagai filsafat tentang pemuliaan alam yang disebut dengan Sad Kerti, tetapi hanya berbentuk ritual. Usaha-usaha serius berskala besar untuk mengatasi persoalan-persoalan krisis air ini tidak pernah dilakukan. Contohnya adalah sistem pengolahan air buangan atau usaha lain yang ramah lingkungan untuk memuliakan air belum dilakukan.
Akan tetapi Bali selalu mendapatkan anugrah penyadaran untuk mengembalikan kesadaran hakiki masyarakat Bali, yaitu misalnya melalui WWF 2024 ini. WWF 2024 ini diharapkan memberikan kesadaran manusia Bali terhadap kesejatian dirinya. Kesejatian sebagai masyarakat yang lahir dari peradaban besar air. Kesejatian ini diharapkan melahirkan kebijakan-kebijakan pengelolaan air yang mampu mengatasi ancaman krisis air. Air adalah amerta (keberlangsungan hidup) bagi masyarakat Bali. Jika masyarakat Bali tidak bisa menjaga amerta ini maka mereka akan menjadi dewa lagi. Masyarakat yang tidak bisa menjaga amerta akan menjadi raksasa, hidup dalam penderitaan dan kegelapan yang berkepanjangan seperti kisah Usana Mayadanawa di Bali yang meracuni sumber mata air Tirta Empul di Tukad Pakerisan. Mayadanawa yang meracuni air ini tidak bisa mendapatkan hidup yang panjang karena keserakahannya. Dewa Indra bersama para dewa yang memuliakan air Tirta Empul yang mendapatkan kehidupan abadi.
Daftar Pustaka
Bappeda Badung. (2022). Rp 3,1 Triliun, Realisasi PAD Badung 2022, PHR Penyumbang Pendapatan Terbesar. https://bapenda.badungkab.go.id/berita/47049-rp-3-1-triliun-realisasi-pad-badung-2022-phr-penyumbang-pendapatan-terbesar. Diakses pada 14 Mei 2024.
Detikbali. (2023). Ribuan Perusahaan Tak Kantongi Izin Pemanfaatan Air Bawah Tanah. https://apps.detik.com/detik/https://www.detik.com/bali/berita/d-6642841/ribuan-perusahaan-tak-kantongi-izin-pemanfaatan-air-bawah-tanah. Diakses 14 Mei 2024.
Detiknews. (2019). Bali, Surga Wisata yang Kekurangan Air Bersih. https://apps.detik.com/detik/https://news.detik.com/dw/d-4808019/bali-surga-wisata-yang-kekurangan-air-bersih
Dharmiki. (2021). Rivers in Rigveda. https://dharmawiki.org/index.php/Rivers_in_Rigveda. Diakses pada 14 Mei 2024.
Gourdian, T dan C.Hooykaas. (2004). Stuti dan Stava Mantra Para Pandita Hindu di Bali. Surabaya: Paramita.
Utami, Ni Made Meiti. (2004). Dampak industri pariwisata terhadap kualitas air tanah di Kuta, Bali. https://lib.ui.ac.id/file?file=pdf/abstrak/id_abstrak-74152.pdf. Diakses pada 14 Mei 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H