Mohon tunggu...
I Gede Sutarya
I Gede Sutarya Mohon Tunggu... Dosen - Penulis dan akademisi pada Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar

Lahir di Bangli, 8 November 1972 dari keluarga guru. Pendidikan SD sampai SMA di tempat kelahirannya Bangli. Menempuh Diploma 4 Pariwisata di Universitas Udayana selesai tahun 1997, S2 pada Teologi Hindu di IHDN Denpasar selesai tahun 2007, dan S3 (Doktor Pariwisata) di Universitas Udayana selesai tahun 2016.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kuningan, Atma Kertih dan Pendidikan yang Berpihak

17 Juni 2022   10:20 Diperbarui: 17 Juni 2022   10:29 811
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Umat Hindu di Bali merayakan hari raya Kuningan (18/6/2022). Kuningan adalah puncak dari perayaan kemenangan 10 hari yang mulai pada Galungan (8/6/2022). 

Lontar Sundarigama menyatakan, pada hari suci ini, para dewa turun ke dunia untuk membersihkan alam semesta. Manusia diharapkan mengaturkan sasayut prayascita untuk pembersihan diri. Gubernur Bali melalui instruksi Nomer 7 tahun 2022 menafsirkannya dengan instruksi atma kertih, yang artinya membangun keharmonisan diri sejati.

Membangun keharmonisan diri sejati (atma) merupakan proses yang berkepanjangan. Bhagavad Gita Sloka 2.55 menyatakan tujuan dari keharmonisan diri sejati (atma kertih) adalah mencapai stithaprajna (kebijaksanaan). 

Sloka 2.55 itu berbunyi prajahati yada kaman (menjauhkan diri dari segala keinginan), sarvan partha mano-gatan (segala yang datang dari hayalan pikiran), atmany evatmana tustah (lakukan sesuatu yang memuaskan diri sejati), stitha-prajnas tadocyate (itu yang disebut kebijaksanaan).

Sloka ini menunjukkan cara melakukan atma kertih, yaitu menjauhkan diri dari segala keinginan yang lahir dari halusinasi pikiran. Seseorang harus mengendalikan inderya-inderya untuk mencapai keadaan itu. Karena itu, mengendalikan pikiran dari ketertarikan inderiya adalah jalan untuk mencapai keharmonisan diri sejati (atma). 

Untuk mencapai kondisi ini adalah dengan melakukan latihan-latihan rohani, yang disebut dengan Panca Yama dan Nyama. Panca Yama yaitu ahimsa (tidak melakukan kekerasan), satya (jujur), asteya (tidak menginginkan milik orang lain), aparigraha (tidak memiliki keterikatan), dan brahmacari (belajar terus-menerus). 

Panca Nyama yaitu akrodha (tidak marah/kecewa), guru susrusha (hormat kepada guru), sauca (suci), avyavahara (tidak lobha), apramada (tidak mengabaikan kewajiban).

Yama dan Nyama itu adalah latihan rohani. Ritual prayascita adalah simbol (yantra) yama-nyama yang dihidupkan melalui dasaaksara (sepuluh aksara suci Tuhan). Ritual tersebut hanya simbol. Menghidupkan simbol ritual tersebut adalah simbol gerakan (tantra). 

Semua itu harus dimaknai bahwa membangun kualitas manusia harus melalui pendidikan yang terus-menerus, dengan memutar dasaksara (sepuluh aksara suci Tuhan) yang merupakan simbol seluruh pengetahuan semesta.

Oleh karena itu, atma kertih harus dilakukan melalui proses panjang yang disebut dengan pendidikan. Kuningan yang berarti kecemerlangan hanya bisa didapatkan melalui pendidikan. 

Tradisi Hindu kuno sudah menganggap demikian pentingnya pendidikan, sehingga merayakan Saraswati (hari ilmu pengetahuan). Akan tetapi, pendidikan kepada seluruh rakyat seringkali dianggap berbahaya bagi penguasa sebab akan memunculkan rakyat yang kritis, sesuai teori kekuasaan kuno yaitu rakyat lemah maka negara kuat. Karena itu, pendidikan kepada seluruh rakyat, seringkali dihapuskan untuk tujuan-tujuan penguasa.

Penguasa yang sadar seperti Asoka di Magadha (250 SM) membangun pusat-pusat pendidikan tersebut. Dia menghapuskan segala bentuk perbudakan sehingga ia memiliki banyak kaum terpelajar, administrator yang baik, dan prajurit yang tangguh. Kebijakannya ini mengantarkan Magadha menuju puncak kejayaan dengan wilayah yang luas dan makmur.  

Hal-hal yang dilakukan Ashoka hampir mirip dengan apa yang dilakukan pemimpin republik Roma (486-200 SM) yang disebut dengan Land Reform, yaitu pembagian tanah-tanah kepada kaum budak (pembebasan perbudakan) yang menyebabkan Republik Roma memiliki banyak prajurit untuk mempertahankan negaranya. 

Relasi Alexander yang Agung dengan India yang berlangsung pada sekitar 320 SM, menularkan gagasan-gagasan itu untuk membangun negara. Chanakya, cendikiawan politik Hindu mencatat dan menerjemahkan gagasan tersebut ke dalam politik Ashoka.

Apa yang dilakukan Ashoka, telah membangun pusat-pusat pendidikan terbesar di dunia seperti Universitas Nalanda. Universitas-universitas ini berdiri sampai abad ke-12 Masehi. 

Penyerang dari Turki (Dinasti Ghaznavid) menghancurkan universitas-universitas ini pada perang-perang di India sekitar abad ke-12 Masehi. Pada abad-abad sebelum universitas tersebut dihancurkan telah lahir pemikir-pemikir besar Hindu, termasuk di dalamnya pemikir-pemikir Hindu dan Buddha di Nusantara yang secara intens berhubungan dengan India ketika itu.

Prasasti-prasasti Bali Kuno (abad 11 - 12 Masehi) banyak memuat tentang hibah tanah kepada para bhiksu (Shiva, Buddha dan Jaina) untuk mendirikan perguruan. Nagarakertagama juga mencatat ashrama-ashram di Jawa. 

Hal itu menunjukkan raja-raja Bali Kuno dan Jawa menaruh perhatian yang besar kepada pendidikan. Raja-raja ini telah mendengar cerita bagaimana Magadha menjadi besar lewat kidung Pataliputra (ibu kota Magadha). 

Kebijakan raja-raja Bali Kuno harus menjadi inspirasi untuk kemajuan Bali masa kini. Akan tetapi kemudian peninggalan-peninggalan perguruan telah hilang seperti juga di India.

Sejarah itu memberikan pelajaran bahwa kekuasaan pada sekelompok orang tidak membuat negara menjadi kuat. Kekuasaaan harus didistribusikan secara merata secara berjenjang. Pada masa lalu, land reform dilakukan karena tanah menjadi sumber daya ekonomi yang paling vital. 

Pada saat ini (modern), pengetahuan harus didistribusikan secara merata. Kaum-kaum miskin yang tidak mendapatkan akses pengetahuan harus mendapatkan perlakuan khusus, dengan membangun pusat-pusat pendidikan khusus untuk anak-anak miskin.

Jika hal itu tidak dilakukan maka Kuningan hanya akan dirayakan dengan sebatas simbol. Jika perayaan Kuningan dirayakan hanya sebatas simbol maka perayaan ini hanya akan terhenti pada perayaan. Dia tidak akan merealisasi dalam kehidupan sehari-hari. 

Setiap orang bisa merayakan kemenangan setiap Minggu, tetapi jika selalu berada dalam kekalahan dalam persaingan global maka perayaan itu menjadi tidak bermakna. 

Karena itu, tugas umat Hindu adalah memaknai hari raya ini sebagai aktivitas nyata untuk meningkatkan kualitas umat Hindu. Selamat hari raya Kuningan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun