Sebagai pemberi makna, maka masyarakat lokal harus mendapatkan ruang yang seluas-luasnya untuk memberikan makna terhadap situs Besakih. Makna tersebut bisa ritual (acara), etika (susila) dan makna kehidupan (tatwa).Â
Dalam pembangunan masyarakat lokal ini, ada tiga lapis yang harus dibangun. Lapis terdalam adalah Desa Adat Besakih yang warganya adalah penanggungjawab sehari-hari di Besakih. Lapis dalam kedua adalah pragunung Besakih, yang memiliki kewajiban untuk melakukan ritual pada waktu-waktu tertentu. Lapis ketiga (luar) adalah masyarakat Bali yang memiliki kewajiban untuk melakukan ritual pada siklus waktu tertentu, selain sehari-hari yang tidak wajib.
Pembangunan budaya yang baru dilakukan adalah ritual.Â
Pemerintah telah memberikan banyak bantuan untuk membangun ritual di Besakih, tetapi ritual saja tidak cukup. Ritual ini harus mendorong masyarakat untuk menjadi masyarakat yang beretika (susila)Â di mana mereka harus memiliki kebajikan dan kesopanan. Dengan kebajikan dan kesopanan ini, diharapkan terbangun makna hidup yang baik yaitu makna hidup yang dikagumi masyarakat dunia, karena mewujud dalam realitas solidaritas sosial yang baik, pengorbanan kepentingan pribadi, dan berkomitmen terhadap tujuan-tujuan mulia.
Makna hidup ini merupakan tujuan dari pencarian masyarakat dunia yang cenderung individualistik. Di depan mata kita, ada jutaan orang belajar untuk berlatih melakukan pengabdian sosial agar hidupnya bermakna.Â
Itu adalah pelajaran yang dilakukan sehari-hari dalam masyarakat kita, tetapi itu perlu dibiasakan dalam kultur masyarakat yang berbeda. Hal-hal seperti ini merupakan inspirasi bagaimana membangun masyarakat lokal Bali sebagai tempat belajar untuk mencari makna hidup yang lebih dalam. Karena itu, Besakih hanya monumen yang menjadi orientasi bagi pencarian makna hidup. Makna hidup yang sesungguhnya ada di tengah-tengah masyarakat Bali.
Persoalan terbesar pembangunan pariwisata Bali adalah menjaga pemaknaan hidup masyarakat lokalnya. Ahli-ahli budaya dunia telah banyak menulis buku bahwa masyarakat Bali sudah mulai touristik, tidak asli lagi dalam keramahtamahan dan sejenisnya.Â
Jika itu benar maka orientasi masyarakat Bali telah bergeser pada tujuan-tujuan ekonomi pragmatis, bukan tujuan-tujuan mulia yang dikagumi dunia.Â
Pergeseran ini harus dicermati sebagai kritik terhadap masyarakat Bali, sebab jika tak waspada, Bali akan menghadapi persaingan pariwisata yang tidak ringan ke depan dengan Thailand dan Kamboja, di mana Kamboja akan menampilkan sesuatu yang lebih asli daripada Bali dan Thailand.
Persaingan ini hanya akan menyisakan keunggulan Bali kepada fasilitas wisata yang lebih mewah karena investasi asing dan masyarakatnya yang touristik. Keunggulan Bali ini akan segera hilang sejalan dengan pertumbuhan investasi pariwisata di Kamboja yang akan segera terjadi karena faktor keamanan negara tersebut yang semakin baik.Â
Bali harus menghadapi persaingan ini dengan kembali melestarikan nilai-nilai orisinal pada masyarakat Bali, yaitu solidaritas sosial. Pada nilai-nilai seperti ini, masyarakat Bali menjadi tempat belajar yang baik. Hal seperti ini harus lebih mendapatkan fasilitas dukungan untuk membangun monumen hidup Besakih.