Mohon tunggu...
I. Addi Wisudawan
I. Addi Wisudawan Mohon Tunggu... Pengacara - beginner writer

motorcycle traveller

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

R.I.P Ideologi Politik

17 Juli 2018   15:01 Diperbarui: 17 Juli 2018   15:16 941
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Merujuk pemikiran Ali Syari'ati, seorang tokoh revolusi Iran yang berpendapat bahwa Ideologi adalah keyakinan-keyakinan dan gagasan-gagasan yang ditaati oleh suatu kelompok, suatu kelas sosial, suatu bangsa, atau suatu ras tertentu. Dalam implementasinya, masyarakat yang memiliki keyakinan-keyakinan dan gagasan-gagasan serta pandangan visi dan misi yang sama kemudian berserikat dan berkumpul dalam suatu wadah suatu organisasi. 

Dalam rangka mewujudkan visi misi dan gagasan maka dibentuklah partai politik sebagai sebuah organisasi untuk mewujudkan hal-hal disebutkan tadi. Artinya, masuknya seseroang kedalam partai politik seyogyanya dilatarbelakangi oleh ideologi yang sama antara partai politik dan ideology pribadinya. Hal ini terjadi di Indonesia pada masa orde lama dan orde baru seperti disampaikan penulis diatas.

Dalam konteks kekinian, hal tersebut perlahan namun pasti mulai terkikis. Ideology bukan lagi hal yang penting dalam menentukan proses politik. Dapat dilihat dari fenomena beberapa partai politik yang membuka kesempatan bagi masyarakat yang ingin mencalonkan diri menjadi calon anggota Dewan Perwakilan baik ditingkat pusat maupun di daerah. Dari fenomena tersebut secara tidak disadari partai memposisikan diri sebagai kendaraan politik semata, tanpa lagi mengidahkan ideology politik, karakter, serta kapabilitas dari pribadi yang bersangkutan. 

Dalam jangka waktu yang sangat singkat tersebut, apakah mungkin bagi partai membentuk karakter pribadi sesuai dengan visi misi serta ideology partai. Kapasitas dan kapabilitas tidak dapat dibentuk dengan waktu yang sangat singkat seperti itu. Inilah peran penting dari kaderisasi partai. 

Walaupun ada mekanisme fit and proper test tetap tidak akan membentuk karakter sesuai dengan jatidiri partai. Pada akhirnya yang terjadi adalah terjadinya fenomena "kutu loncat". Seseorang yang dengan mudahnya berpindah dari satu partai ke partai lainnya. Apapun alasannya, ideology bukan yang melatar belakangi. Karena pada awalnya memang bukan dilatarbelakangi oleh ideology mereka masuk kepartai awal.

Berbeda halnya dengan yang terjadi dilapisan masyarakat sebagai pemilih. Dikarenakan konsep pemilihan sekarang adalah memilih langsung orang (walaupun tergabung dalam partai politik) bukan partai politik, maka semakin menegaskan jika dasar dalam proses memilih bukan lagi berdasarkan persamaan  gagasan, visi dan misi (ideology) lagi. 

Akan tetapi hanya berdasarkan oleh ketokohan dari calon yang ditampilkan. Dapat dilihat dari fenomena artis masuk parlemen. Apakah mereka masuk parlemen dkarenakan persamaan ideology antara partai, pribadinya dan konstituen (pemilihnya)? Absolutely No !!!

Dalam konteks yang lebih vital dapat kita lihat pada narasi pembuka pada tulisan ini, yaitu besarnya dukungan kepada Jokowi pada pemilihan gubernur Jakarta dan pada saat pemilihan presiden. Apa visi misi jokowi pada saat itu? Apa gagasannya terhadap Indonesia? Apakah antusiasme masyarakat tersebut dilatarbelakangi oleh ideologinya? Dapat penulis asumsikan dukungan terhadap Jokowi bukan karena itu semua. 

Para pendukung dapat diasumsikan memilih hanya melihat berdasar pribadi Jokowi yang santun, Jokowi yang tampil sederhana dan bersahaja, Jokowi yang menggunakan kendaraan dinas hasil rakitan siswa SMK pada saat memimpin Kota Solo. Hal-hal itulah yang berhasil menarik rasa simpati dan empati masyarakat. Strategi politik dibangun dengan membangun citra guna meraih simpati masyarakat. Metode blusukan, adalah salah satunya. Terlepas dari pro dan kontranya penulis menilai: secara pragmatis hal ini efektif untuk meraih suara.

Jokowi adalah orang jawa. Ini adalah salah satu hal metode juga yang digunakan oleh mesin politiknya untuk mendulang suara. Fanatisme dan Primodialisme. 

Menjual kesukuan dalam rangka meraih dukungan dari mereka yang memiliki persamaan. Parahnya, fanatisme ini kemudian melebar tidak hanya sampai hanya berbicara kesukuan, namun juga masuk hingga ranah agama. Fanatisme dari golongan-golongan tertentu juga dimanfaatkan untuk meraih kemenangan politik. Penulis asumsikan misal kekuataan masyarakat Nahdliyin. Nahdlatul Ulama (NU) adakah kantong massa nyata. Bagi mereka yang dibesarkan dengan tradisi NU melalui pondok-pondok pesantrennya maka akan paham tentang arahan dari Kyai Besar. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun