Mohon tunggu...
Nicholas
Nicholas Mohon Tunggu... Lainnya - Siswa

Matematika

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Perobohan Tembok Pemisahan, Kanisius Menjalankan Ekskursi Lintas Agama!

19 November 2024   23:00 Diperbarui: 20 November 2024   09:38 1326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia adalah negeri yang berdiri kokoh di atas pondasi keberagaman, sebuah fakta yang menjadi salah satu kekuatan dan tantangan terbesar bangsa ini. Dengan berbagai agama, suku, dan budaya yang menghiasi setiap sudutnya, Indonesia terus berproses untuk merajut harmoni di tengah perbedaan. Namun, harmoni ini tidak datang begitu saja; ia membutuhkan upaya yang nyata dan berkelanjutan. Sebagaimana dikatakan Michael Novak, seorang teolog dan filsuf dari Amerika Serikat, “Unity in diversity is the highest possible attainment of a civilization, a testimony to the most noble possibilities of the human race.” Kutipan ini tidak hanya menjadi pengingat akan pentingnya merayakan keberagaman, tetapi juga menyoroti bahwa keberagaman harus disertai dengan upaya saling memahami.

Keberagaman ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, ia adalah pelangi setelah hujan. Indah karena warna-warni yang saling melengkapi. Ketika setiap warna bekerja bersama, harmoni tercipta, memberikan pemandangan yang menyejukkan hati. Namun, di sisi lain, keberagaman juga seperti aliran sungai yang bercabang ke berbagai arah. Jika setiap cabang mengalir sendiri-sendiri tanpa arah yang sama, kekuatannya akan melemah, kehilangan daya untuk mencapai tujuan bersama. 

Begitu pula dengan keberagaman. Ketika dirayakan dengan semangat saling memahami dan kerja sama, ia menjadi kekuatan yang tak tergoyahkan. Namun, tanpa pemahaman dan toleransi, keberagaman justru bisa menjadi sumber perpecahan yang melemahkan fondasi sebuah komunitas. Oleh karena itu, keberagaman menuntut upaya kolektif untuk menjadikannya kekuatan, bukan kelemahan.

Dalam konteks Indonesia, meskipun toleransi beragama cukup tinggi, penelitian Wahid Foundation pada 2020 menunjukkan bahwa tantangan berupa stereotip negatif dan kurangnya pemahaman antar kelompok masih sering muncul. Hal ini menegaskan perlunya inisiatif yang menghubungkan komunitas lintas agama, seperti program ekskursi lintas agama yang diadakan oleh sekolah Kolese Kanisius. 

Program ini membawa kami, para siswa, untuk tinggal di Pondok Pesantren Nur El Falah, sebuah pengalaman yang tidak hanya membuka wawasan tetapi juga menantang kenyamanan kami.

Tinggal di pesantren memberi kesempatan untuk menyelami kehidupan yang sarat akan nilai-nilai keagamaan, kedisiplinan, dan kesederhanaan. Kegiatan harian di pesantren, mulai dari sholat subuh pukul empat pagi hingga “ngaji” yang berlangsung hingga larut malam, menunjukkan betapa kuatnya dedikasi mereka terhadap nilai-nilai spiritual. 

Sebagai pengunjung, mengikuti jadwal ketat ini bukanlah hal yang mudah. Bangun pagi dengan tidur yang kurang terasa melelahkan. Namun, hal ini menjadi pengalaman yang mengajarkan kami tentang keteguhan santri dalam menyeimbangkan pendidikan formal dan spiritual.

Salah satu hal yang paling menonjol dari pesantren adalah kesederhanaannya. Meskipun fasilitasnya tidak semewah sekolah di kota, kebersihan lingkungan pesantren tetap terjaga dengan sangat baik. Setiap pagi, para santri dengan penuh tanggung jawab menjalankan piket harian mereka. 

Halaman disapu hingga rapi, ruang-ruang belajar dirapikan, dan fasilitas umum dijaga agar tetap layak digunakan. Kesederhanaan ini tidak hanya mencerminkan kedisiplinan, tetapi juga menunjukkan nilai kebersamaan yang dihayati oleh setiap anggota komunitas. Di balik rutinitas ini, terasa semangat kolektif untuk saling mendukung demi menjaga lingkungan tetap nyaman dan terorganisasi.

Selain itu, kehidupan di pesantren diwarnai oleh struktur komunitas yang menonjolkan senioritas. Para santri senior berperan sebagai pembimbing bagi adik-adik kelas mereka, membantu mengajarkan tata cara ibadah, etika dalam komunitas, dan memberikan bimbingan dalam beradaptasi dengan kehidupan pesantren. Kehadiran mereka menciptakan suasana yang mendukung solidaritas dan persaudaraan. 

Namun, seperti halnya sistem hierarki lainnya, senioritas juga memiliki tantangan tersendiri. Jika tidak dikelola dengan baik, ia dapat menjadi sumber tekanan sosial, terutama bagi santri junior yang mungkin merasa terbebani oleh ekspektasi atau aturan tidak tertulis. Hal ini mengingatkan kita bahwa kepemimpinan harus selalu didasari oleh rasa hormat yang sejati dan bukan dominasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun