Saya yakin benar Tut Wuri Handayani berbeda arti dengan Bhinneka Tunggal Ika. Yang pertama punya arti “dari belakang memberikan dorongan”, sedangkan yang terakhir bermakna “walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu”.
Saya juga yakin bahwa semua orang yang pernah mengenyam bangku sekolah di Indonesia tahu dan paham arti kedua slogan tersebut. Betapa tidak, sejak sekolah dasar hingga sekolah tinggi, keduanya gencar mengisi kepala kita, baik verbal melalui para pengajar maupun literal melalui buku-buku pelajaran. Keduanya berlomba-lomba dengan berbagai slogan lain seperti “rajin pangkal pandai, hemat pangkal kaya”, “bersih adalah sebagian dari iman”, dan lain-lain, memasuki benak kita.
Jadi, ketika Della JKT48 terpeleset kicauannya sendiri di @Della_JKT48: “Dan aku juga mengenalkan budaya Indonesia ke mereka. Seperti tut wuri handayani yg artinya walaupun beda tetap satu”, saya pun sungguh yakin bahwa hal itu memang ia sengaja. Ia sebenarnya tahu betul bahwa Tut Wuri Handayani itu ya Tut Wuri Handayani, bukan Bhinneka Tunggal Ika. Della sengaja “memelesetkan” dirinya untuk membangunkan kepedulian kita semua akan dunia pendidikan di Indonesia.
Ya, dunia pendidikan kita. Kalau tidak, kenapa yang ia pelesetkan adalah Tut Wuri Handayani, semboyan pendidikan Indonesia. Kenapa bukan “bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh”, misalnya, mengingat kondisi bangsa kita yang juga tengah tercerai berai sekarang ini. Sebab, Tuhan memang berkehendak demikian melalui Della. Tuhan menitipkan pesan untuk kita.
Sebetulnya, plan A Tuhan adalah menitipkan pesan melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan akhir tahun 2014 lalu. Anies menyebutkan bahwa dunia pendidikan Indonesia sedang dalam keadaan gawat darurat sambil menguraikan fakta-faktanya: Indonesia menjadi peringkat 103 dunia sebagai negara yang dunia pendidikannya diwarnai aksi suap-menyuap dan pungutan liar. Selain itu, sebanyak 75 persen sekolah di Indonesia tidak memenuhi standar layanan minimal pendidikan. Dan, Indonesia menduduki peringkat 40 dari 40 negara pada pemetaan kualitas pendidikan, menurut lembaga The Learning Curve.
Tentu saja warning Mendikbud tersebut dianggap angin lalu. Tak ada yang peduli, karena seorang menteri pendidikan, ya sudah sewajarnya bicara soal pendidikan (dan masalahnya), dan biarlah dia bersama jajaran kementeriannya yang mencari solusinya.
Tapi Tuhan punya plan B. Ia menitipkan pesan untuk kita melalui seorang ikon anak muda, yang terdidik lewat sekolah, yang juga seorang anak dari orang tuanya. Maka seharusnya, yang mengunduh pesan ini bisa lebih luas lagi, yaitu anak muda, para pendidik, dan para orang tua. Kalau hal-hal umum yang sering diajarkan kepada kita saja tidak dipahami oleh anak yang terdidik sekalipun, tentu memang ada yang tidak beres dengan dunia pendidikan kita.
Pastinya, saya tidak akan menyalahkan siapa pun dalam hal ini. Saya hanya ingin mengajak kita semua berkaca. Mengapa anak-anak zaman sekarang lebih memilih tawuran untuk menyelesaikan masalah, mengapa mereka kini lebih berani kepada orang tua, atau bahkan mengapa mereka tidak mengenal kakek-neneknya sendiri. Seakan mereka sudah tidak lagi memiliki adab dan budaya. Mereka sudah tidak lagi menggunakan hati nurani dalam bersikap dan bertindak.
Harusnya kita menangkap pesan itu sebagai “pendidikan memang bukan hanya tanggung jawab sekolah dan para pendidik, tapi tanggung jawab kita semua.” Harusnya, kita sebagai orang tua tersentil dan kemudian lebih sungguh-sungguh memberikan hati dan cinta kita kepada anak-anak kita untuk membawa mereka menjadi generasi yang berhati.
Terpelesetnya Della adalah terpelesetnya kita para orang tua, sebagai peringatan agar kita tidak lagi memisahkan anak-anak kita dari hati kita dan memisahkan anak-anak kita dari hati mereka sendiri.
Entahlah, apakah Tuhan punya plan C untuk memicu kita bertanya, mengapa kita hanya mengambil satu dari tiga dasar kepemimpinan Ki Hajar Dewantara, yaitu tut wuri handayani (dari belakang memberikan dorongan) untuk dijadikan semboyan pendidikan kita. Inikah yang menyebabkan pendidikan kita selalu “berada di belakang”, tidak pernah ing madya mangun karsa (di tengah memberi semangat), apalagi ing ngarso sung tuladha (di depan menjadi teladan)?